Senin, 14 Desember 2009

Kewajibanmu Dalam Keluarga

Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al-Atsariyyah

Dalam Islam, peran domestik kaum istri memiliki kedudukan yang sangat mulia. Namun musuh-musuh Islam terus berusaha meruntuhkan sendi dasar rumah tangga ini dengan menggalang berbagai opini menyesatkan. “Pemberdayaan perempuan”, “kesetaraan gender”, “kungkungan budaya patriarkhi” adalah sebagian propaganda yang tiada henti dijejalkan di benak wanita-wanita Islam.


Islam, oleh musuh-musuhnya, dituding sebagai ajaran yang tidak sensitif gender. Posisi wanita dalam Islam, menurut mereka, selalu termarginalkan atau terpinggirkan dalam lingkungan yang didominasi dan dikuasai laki-laki.
Permasalahan yang sering ‘diserang’ kaum feminis dan aktivis perempuan anti Islam adalah peran istri/ ibu dalam mengurusi tugas-tugas kerumahtanggaan. Oleh mereka, peran ibu yang hanya mengurusi tugas-tugas domestik hanya akan menciptakan ketidakberdayaan sekaligus ketergantungan istri terhadap suaminya.
Juga dikesankan bahwa wanita yang hanya tinggal di rumah adalah pengangguran dan menyia-nyiakan setengah dari potensi masyarakat. Propaganda ini didukung oleh opini negatif yang berkembang di masyarakat di mana wanita selama ini tak lebih dari sekedar “konco wingking”, wanita tak lepas dari “dapur, kasur, dan sumur”, “masak, macak, manak“, dan sebagainya. Oleh karena itu, agar wanita bisa “maju”, para wanita harus direposisi dalam ruang publik yang seluas-luasnya.
Gerakan ini gencar dilancarkan musuh-musuh Islam karena mereka sangat paham bagaimana merusak Islam dengan menjadikan wanita muslimah sebagai sasaran bidik. Dengan semakin jauhnya kaum wanita dari rumah, mereka berharap pintu-pintu kerusakan akan semakin terbuka lebar. Lebih jauh, jika wanitanya telah rusak, maka tatanan masyarakat Islam akan rusak pula.

Rumahmu Istanamu
Seorang wanita perlu mengetahui bahwa tempat asalnya berdiam adalah dalam rumahnya, dan rumah ini pula yang menjadi tempatnya bekerja. Dalil-dalil dari syariat yang mulia telah menetapkan dan mempersaksikan tentang hal ini, di antaranya:
- Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman kepada Ummahatul Mukminin:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ
“Dan tetaplah kalian tinggal di rumah-rumah kalian.” (Al-Ahzab: 33)
Makna ayat ini, kata Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah, adalah perintah untuk selalu menetap dalam rumah. Walaupun sasaran pembicaraan dalam ayat ini ditujukan kepada para istri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam namun secara makna wanita selain mereka juga termasuk di dalam perintah ini. (Al-Jami’ li Ahkamil Quran, 14/117)
- Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman:
لاَ تُخْرِجُوْهُنَّ مِنْ بُيُوْتِهِنَّ وَلاَ يَخْرُجْنَ
“Janganlah kalian mengeluarkan mereka (istri-istri yang telah ditalak) dari rumah-rumah mereka dan janganlah mereka keluar.” (Ath-Thalaq: 1)
Walaupun ayat di atas berkenaan dengan wanita/ istri yang tengah menjalani masa ‘iddah, namun kata ulama, hukumnya tidaklah khusus bagi mereka namun juga berlaku bagi wanita yang lain. (Daurul Mar’ah fi Tarbiyatul Usrah, Asy-Syaikh Shalih bin Abdillah Alu Fauzan, hal. 1. www.alfauzan.net)
- Pelajaran dari kisah antara Nabi Musa 'alaihissalam dengan dua orang wanita di Madyan, yang Allah kisahkan kepada kita dalam Tanzil-Nya:
وَلَمَّا وَرَدَ مَاءَ مَدْيَنَ وَجَدَ عَلَيْهِ أُمَّةً مِنَ النَّاسِ يَسْقُوْنَ وَوَجَدَ مِنْ دُوْنِهِمُ امْرَأتَيْنِ تَذُوْدَانِ قَالَ مَا خَطْبُكُمَا قَالَتَا لاَ نَسْقِيْ حَتَّى يُصْدِرَ الرِّعَاءُ وَأَبُوْنَا شَيْخٌ كَبِيْرٌ. فَسَقَى لَهُمَا ثُمَّ تَوَلَّى إِلَى الظِّلِّ فَقَالَ رَبِّ إِنِّي لِمَا أَنْزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيْرٌ. فَجَاءَتْهُ إِحْدَاهُمَا تَمْشِي عَلَى اسْتِحْيَاءٍ قَالَتْ إِنَّ أَبِيْ يَدْعُوْكَ لِيَجْزِيَكَ أَجْرَ مَا سَقَيْتَ لَنَا فَلَمَّا جَاءَهُ وَقَصَّ عَلَيْهِ الْقَصَصَ قَالَ لاَ تَخَفْ نَجَوْتَ مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِيْن. َقَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَاأَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ اْلأَمِيْنُ
“Tatkala Musa sampai di sumber air negeri Madyan, di sana ia menjumpai sekumpulan orang yang sedang meminumkan ternak mereka dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat ternaknya. Musa berkata: ‘Apa maksud kalian berbuat begini, kenapa kalian tidak ikut meminumkan ternak kalian bersama mereka?’ Kedua wanita itu menjawab: ‘Kami tidak dapat meminumkan ternak kami sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan ternak mereka, sedangkan ayah kami1 telah berusia lanjut.’ Maka Musa memberi minum ternak itu untuk menolong keduanya, kemudian ia kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan suatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.” Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu sembari berjalan dengan malu-malu, ia berkata: ‘Ayahku memanggilmu untuk membalas kebaikanmu memberi minum ternak kami.’ Maka tatkala Musa mendatangi ayahnya, ia menceritakan kisah dirinya. Syu’aib pun berkata: ‘Janganlah takut, engkau telah selamat dari orang-orang yang zalim itu (Fir’aun dan pengikutnya).’ Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: ‘Wahai ayahku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja pada kita, karena sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil untuk bekerja pada kita adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya’.” (Al-Qashash: 23-26)
Karena sifat wara dan takwa yang ada pada keduanya, kedua wanita ini enggan untuk bercampur (ikhtilath) dengan para penggembala tersebut. Adapun keduanya keluar rumah untuk memberi minum ternaknya adalah karena darurat, di mana sang ayah telah berusia senja sehingga tak mampu lagi mengurus ternak yang ada. Perjumpaan dengan Nabi Musa 'alaihissalam membuahkan gagasan di benak salah seorang dari wanita tersebut bahwa telah tiba saatnya untuk mengembalikan perkara pada tempat yang semestinya, ia pun berkata kepada sang ayah: “Wahai ayahku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja pada kita, karena sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil untuk bekerja pada kita adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” Sang ayah pun menyambut usulan putrinya, kemudian berkata kepada Nabi Musa:
قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَى أَنْ تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَ وَمَا أُرِيْدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّالِحِيْنَ
“Berkatalah sang ayah: ‘Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan engkau dengan salah seorang dari kedua putriku ini, atas dasar engkau bekerja denganku selama delapan tahun dan jika engkau cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah suatu kebaikan darimu, aku tidaklah hendak memberatkanmu. Dan engkau Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik’.” (Al-Qashash: 27) [Daurul Mar’ah, hal. 1]
- Shalat di masjid sebagai satu amalan yang utama disyariatkan kepada kaum lelaki, banyak pahala akan diraih terlebih bila shalat itu dilakukan di Masjid Nabawi. Namun ternyata bersamaan dengan itu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menganjurkan kaum wanita untuk shalat di rumah mereka. Ketika istri Abu Humaid As-Sa’idi datang kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam seraya menyatakan: “Wahai Rasulullah, aku senang shalat berjamaah bersamamu.” Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab:
قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّيْنَ الصَّلاَةَ مَعِيْ, وَصَلاَتُكِ فِيْ بَيْتِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِيْ حُجْرَتِكِ, وَصَلاَتُكِ فِي حُجْرَتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاَتِكِ فِي دَارِكِ, وَصَلاَتُكِ فِيْ دَارِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ, وَصَلاَتُكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِن ْصَلاَتِكِ فِي مَسْجِدِيْ
“Sungguh aku tahu engkau senang shalat jamaah denganku, namun shalatmu di ruang yang khusus yang ada di rumahmu lebih baik bagimu daripada shalatmu di kamarmu, shalatmu di kamarmu lebih baik daripada shalatmu di rumahmu, shalatmu di rumahmu lebih baik daripada shalatmu di masjid kaummu dan shalatmu di masjid kaummu lebih baik daripada shalatmu di masjidku.” (HR. Ahmad, 6/371, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Jilbab Al-Mar’ah Al-Muslimah, hal. 155)
Bila seorang wanita tetap tinggal di rumahnya, ia akan bisa menunaikan tugas-tugas dalam rumahnya, memenuhi hak-hak suaminya, mendidik anak-anaknya dan membekali dirinya dengan kebaikan. Sementara bila seorang wanita sering keluar rumah, ia akan menyia-nyiakan sekian banyak kewajiban yang dibebankan kepadanya. (Nashihati Lin Nisa’, Ummu Abdillah Al-Wadi‘iyyah, hal. 101)

Keluar rumah saat ada hajat
Dari penjelasan di atas, janganlah dipahami bahwa wanita dilarang secara mutlak untuk keluar dari rumahnya. Bahkan terdapat keterangan dari syariat tentang kebolehan wanita keluar dari rumahnya saat ada kebutuhan dan karena darurat.
- ‘Aisyah radhiallahu 'anha berkisah: “Suatu malam, Saudah bintu Zam’ah radhiallahu 'anha keluar dari rumahnya untuk membuang hajat. Ketika itu ‘Umar ibnul Khaththab radhiallahu 'anhu melihatnya dan mengenalinya. ‘Umar pun berkata: “Engkau Saudah, demi Allah, tidak tersembunyi bagi kami.” Saudah pun kembali menemui Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu ia ceritakan kejadian tersebut kepada beliau. Saat itu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sedang makan malam di rumahku. Dalam keadaan tangan beliau sedang memegang tulang yang padanya ada sisa daging, turunlah wahyu, beliau pun berkata:
قَدْ أَذِنَ اللهُ لَكُنَّ أَنْ تَخْرُجْنَ لِحَوَائِجِكُنَّ
“Allah telah mengizinkan kalian untuk keluar rumah guna menunaikan hajat kalian.” (HR. Al-Bukhari no. 5237 dan Muslim no. 2170)
- Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberi tuntunan kepada para suami untuk tidak melarang istri mereka shalat di masjid, bila si istri minta izin padanya:
إِذَا اسْتَأْذَنَتِ امْرَأَةُ أَحَدِكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلاَ يَمْنَعْهَا
“Apabila istri salah seorang dari kalian minta izin ke masjid maka janganlah ia melarangnya.” (HR. Al-Bukhari no. 873 dan Muslim no. 442)
Dan beliau menyatakan:
لاَ تَمْنَعُوْا إِمَاءَََََََ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ
“Janganlah kalian mencegah hamba-hamba perempuan Allah dari masjid-masjid Allah.” (HR. Al-Bukhari no. 900 dan Muslim no. 442)
- Dari sejarah para shahabiyyah, kita mengetahui ada di antara mereka yang keluar menyertai mahram mereka ke medan jihad untuk memberi minum kepada mujahidin dan mengobati orang yang luka.
Anas bin Malik radhiallahu 'anhu berkata:
كَانَ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم يَغْزُوْ بِأُمِّ سُلَيْمٍ وَنِسْوَة مِنَ الأنْصَارِ مَعَهُ إِذَا غَزَا فَيَسْقِيْنَ الْمَاءَ وَيُدَاوِيْنَ الْجَرْحَى
“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berperang bersama Ummu Sulaim dan beberapa wanita dari kalangan Anshar ikut bersama beliau ketika beliau berperang. Mereka memberi minum dan mengobati mujahidin yang terluka.” (HR. Muslim no. 1810)
Ummu ‘Athiyah radhiallahu 'anhu bertutur: “Aku pernah berperang bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam tujuh kali peperangan, aku menjaga dan mengurus tunggangan-tunggangan mereka (mujahidin), membuatkan makanan untuk mereka, mengobati orang yang luka dan merawat orang sakit.” (HR. Muslim no. 1812)
- Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri bila hendak safar, beliau mengundi di antara istri-istrinya untuk menentukan siapa di antara mereka yang akan menyertai beliau dalam safarnya.
Keluarnya wanita dari rumahnya ini merupakan pengecualian dari hukum asal2 dan disebabkan kepentingan yang darurat dengan memperhatikan dan menjaga adab-adab ketika keluar rumah seperti berhijab dan sebagainya, dan juga tidak ada fitnah dan kerusakan yang akan timbul saat ia keluar rumah. Adapun bila wanita keluar rumah untuk bekerja karena memperhatikan bualan orang-orang yang mengikuti hawa nafsu syaithaniyyah bahwasanya bila wanita tetap tinggal di rumahnya ia akan menjadi pengangguran, maka hal ini tidaklah dibolehkan oleh syariat yang agung dan sempurna ini. Bila sampai wanita keluar dari rumahnya karena memenuhi ajakan manis nan berbisa dari pengikut hawa nafsu tersebut maka akan terjadilah kerusakan yang besar di tengah masyarakat dan sendi-sendi keluarga pun akan hancur.
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah berkata: “Islam menetapkan masing-masing dari suami istri memiliki kewajiban yang khusus agar keduanya dapat menjalankan perannya, hingga sempurnalah bangunan masyarakat di dalam dan di luar rumah. Suami berkewajiban mencari nafkah dan penghasilan sedangkan istri berkewajiban mendidik anak-anaknya, memberikan kasih sayang, menyusui dan mengasuh mereka serta tugas-tugas lain yang sesuai baginya seperti mengajar anak-anak perempuan, mengurusi sekolah mereka, merawat dan mengobati mereka dan pekerjaan yang semisalnya yang khusus bagi wanita. Bila wanita sampai meninggalkan kewajiban dalam rumahnya berarti ia menyia-nyiakan rumah berikut penghuninya. Hal tersebut berdampak terpecahnya keluarga baik secara hakiki maupun maknawi.” (Khatharu Musyarakatil Mar’ah lir Rijal fi Maidanil ‘Amal, hal. 5)

Arti wanita dalam keluarga
Keberadaan seorang wanita sebagai istri dan ibu dalam keluarga memiliki arti yang sangat penting, bahkan bisa dikatakan dia merupakan satu tiang yang menegakkan kehidupan keluarga dan termasuk pemeran utama dalam mencetak “orang-orang besar.” Sehingga tepat sekali bila dikatakan: “Di balik setiap orang besar ada seorang wanita yang mengasuh dan mendidiknya.”
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menyatakan: “Perbaikan masyarakat dapat dilakukan dengan dua cara:
Pertama: Perbaikan secara dzahir, yang dilakukan di pasar-pasar, di masjid-masjid dan selainnya dari perkara-perkara yang dzahir. Ini didominasi oleh lelaki, karena merekalah yang biasa tampil di depan umum.
Kedua: Perbaikan masyarakat yang dilakukan dari balik dinding/ tembok. Perbaikan seperti ini dilakukan di rumah-rumah dan secara umum hal ini diserahkan kepada kaum wanita. Karena wanita adalah pengatur dalam rumahnya sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman yang ditujukan ketika itu kepada para istri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:
وَقَرْنَ فِي بُيُوْتِكُنَّ وَلاَ تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ اْلأُوْلَى وَأَقِمْنَ الصَّلاَةَ وَآتِيْنَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُوْلَهُ إِنَّمَا يُرِيْدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيْرًا
“Tetaplah kalian tinggal di rumah-rumah kalian dan jangan kalian bertabarruj sebagaimana tabarrujnya orang-orang jahiliyyah yang pertama. Tegakkanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah hanyalah berkehendak untuk menghilangkan dosa dari kalian wahai ahlul bait dan mensucikan kalian dengan sebersih-bersihnya.” (Al-Ahzab: 33)
Kami yakin setelah ini bahwasanya tidak salah bila kami katakan perbaikan setengah masyarakat itu atau bahkan mayoritasnya tergantung pada wanita dikarenakan dua sebab berikut ini:
Pertama: Kaum wanita itu jumlahnya sama dengan kaum lelaki bahkan lebih banyak, yakni keturunan Adam mayoritasnya wanita sebagaimana hal ini ditunjukkan oleh As-Sunnah An-Nabawiyyah. Akan tetapi hal ini tentunya berbeda antara satu negeri dengan negeri lain, satu zaman dengan zaman lain. Terkadang di satu negeri jumlah wanita lebih banyak daripada jumlah laki-laki dan terkadang di negeri lain justru sebaliknya. Sebagaimana di satu masa kaum wanita lebih banyak daripada laki-laki namun di masa lainnya justru sebaliknya, laki-laki lebih dominan. Apapun keadaannya wanita memiliki peran yang besar dalam memperbaiki masyarakat.
Kedua: Tumbuh dan berkembangnya satu generasi pada awalnya berada dalam asuhan wanita. Dengan ini jelaslah tentang kewajiban wanita dalam memperbaiki masyarakat.” (Daurul Mar’ah fi Ishlahil Mujtama’, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah)
Bila demikian keadaannya, apakah bisa diterima ucapan yang mengatakan bahwa wanita yang bekerja dalam rumahnya, berkhidmat pada keluarganya adalah pengangguran? Manakah yang hakekatnya lebih utama, lebih berhasil dan lebih bahagia, wanita yang tinggal di rumahnya, menjaga diri dan kehormatannya, melayani suami hingga keluarganya menjadi keluarga yang sakinah, penuh cinta dan kasih sayang, dan ia mengasuh anak-anaknya hingga tumbuh menjadi anak-anak yang berbakti dan berguna bagi masyarakatnya, ataukah seorang wanita yang sibuk mengejar karier di kantor bersaing dengan para lelaki, bercampur baur dengan mereka, sementara suami dan anak-anaknya ia serahkan pengurusannya kepada orang lain? Manakah yang lebih merasakan ketentraman dan ketenangan?
Hendaklah dipahami oleh para wanita bahwa pekerjaan berkhidmat pada keluarga merupakan satu ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Pekerjaan di dalam rumahnya bukanlah semata-mata gerak tubuhnya, namun pekerjaan itu memiliki ruh yang bisa dirasakan oleh orang yang mengerti tujuan kehidupan dan rahasia terwujudnya insan. (Daurul Mar’ah, hal. 3)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:
إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا, وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَتْ
“Apabila seorang wanita mengerjakan shalat lima waktu, puasa di bulan Ramadhan, ia menjaga kemaluannya dan taat kepada suaminya maka ia akan masuk surga dari pintu surga mana saja ia inginkan”. (HR. Ahmad, 1/191. Dalam Adabuz Zifaf, hal. 182, Asy-Syaikh Al-Albani berkata: “Hadits ini hasan atau shahih, ia memiliki banyak jalan.”)
Surga sebagai tempat yang sarat dengan kenikmatan yang kekal abadi dapat dimasuki seorang wanita yang menyibukkan dirinya dengan ibadah kepada Allah, menjaga kehormatan dirinya dan taat kepada suaminya, dan tentunya semua ini dilakukan oleh seorang wanita di dalam rumahnya.

Pekerjaan wanita di dalam rumah
Beberapa pekerjaan yang bisa dilakukan wanita di dalam rumahnya, seperti:
Pertama: ibadah kepada Allah.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُوْنِ
“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)
Ketika Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan Ummahatul Mukminin untuk berdiam di rumah mereka, Allah gandengkan perintah tersebut dengan perintah beribadah.
وَقَرْنَ فِي بُيُوْتِكُنَّ وَلاَ تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ اْلأُوْلَى وَأَقِمْنَ الصَّلاَةَ وَآتِيْنَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُوْلَهُ
“Dan tetaplah kalian di rumah-rumah kalian dan janganlah bertabarruj seperti tabarrujnya orang-orang jahiliyyah yang terdahulu, tegaklah shalat, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya.” (Al-Ahzab: 33)
Dengan menegakkan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala ini, akan sangat membantu seorang wanita untuk melaksanakan perannya dalam rumah tangga. Dan dengan ia melaksanakan ibadah disertai kekhusyuan dan ketenangan yang sempurna akan memberi dampak positif kepada orang-orang yang ada di dalam rumahnya, baik itu anak-anaknya ataupun selain mereka.
Kedua: Wanita berperan memberikan sakan (ketenangan dan ketenteraman) bagi suami dan juga bagi rumahnya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوْا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untuk kalian pasangan-pasangan (istri) dari diri-diri kalian agar kalian merasakan ketenangan padanya dan Dia menjadikan di antara kalian mawaddah dan rahmah…” (Ar-Rum: 21)
Seorang wanita tidak bisa menjadi sakan bagi suaminya sampai dia memahami hak dan kedudukan suami, kemudian ia melaksanakan hak-hak tersebut dalam rangka taat kepada Allah dengan penuh kesenangan dan keridhaan. Seorang wanita perlu mengetahui tentang besarnya hak suami terhadapnya, sampai-sampai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain niscaya aku perintahkan seorang istri untuk sujud kepada suami.” (HR. Ahmad, 4/381. Dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 5295 dan Irwa-ul Ghalil no. 1998)
Ketika suaminya telah meninggal pun ia diperintah untuk menahan dirinya dari berhias (ber-ihdad) selama 4 bulan 10 hari.
لاَ يَحِلُّ لامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى الْمَيِّتِ فَوْقَ ثَلاثٍ إلا عَلَى زَوْجٍ فَإِنَّهَا تُحِدُّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berihdad atas mayit lebih dari tiga hari, kecuali bila yang meninggal itu adalah suaminya maka ia berihdad selama 4 bulan 10 hari.” (HR. Muslim no. 1486)
Seorang wanita bisa menjadi sakan bagi rumahnya bila ia menegakkan beberapa hal berikut ini:
1. Taat secara sempurna kepada suaminya dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah
Taat ini merupakan asas ketenangan karena suami sebagai qawwam (pemimpin) tidak akan bisa melaksanakan kepemimpinannya tanpa ketaatan. Dan ketaatan kepada suami ini lebih didahulukan daripada melakukan ibadah-ibadah sunnah. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يِحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَْنْ تَصُوْمَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tidak boleh seorang wanita puasa (sunnah) sementara suaminya ada di tempat kecuali setelah mendapatkan izin suaminya.” (HR. Al-Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Larangan ini menunjukkan keharaman, demikian diterangkan dengan jelas oleh orang-orang dalam madzhab kami.” (Syarah Shahih Muslim, 7/115). Hal ini merupakan pendapat jumhur ulama sebagaimana disebutkan dalam Fathul Bari (9/356).
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah juga memberikan alasan dalam hal ini: “Sebabnya adalah suami memiliki hak untuk istimta’ (bermesraan) dengan si istri sepanjang hari, haknya dalam hal ini wajib untuk segera ditunaikan sehingga jangan sampai hak ini luput ditunaikan karena si istri sedang melakukan ibadah sunnah ataupun ibadah yang wajib namun dapat ditunda.” (Syarah Shahih Muslim, 7/115)
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan: “Hadits ini menunjukkan bahwa lebih ditekankan kepada istri untuk memenuhi hak suami daripada mengerjakan kebajikan yang hukumnya sunnah, karena hak suami itu wajib sementara menunaikan kewajiban lebih didahulukan daripada menunaikan perkara yang sunnah.” (Fathul Bari, 9/356)
“Wajib bagi wanita/ istri untuk taat kepada suaminya dalam perkara yang ia perintahkan dalam batasan kemampuannya, karena hal ini termasuk keutamaan yang Allah berikan kepada kaum lelaki di atas kaum wanita, sebagaimana dalam ayat:
الرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلىَ النِّسَاءِ
“Kaum lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.”
dan ayat:
وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ
“Dan bagi kaum lelaki kedudukannya satu derajat di atas kaum wanita.”
Hadits-hadits shahih yang ada memperkuat makna ini dan menjelaskan dengan terang apa yang akan diperoleh wanita dari kebaikan ataupun kejelekan bila ia mentaati suaminya atau mendurhakainya, demikian dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Adabuz Zifaf, hal. 175-176.
2. Mengerjakan pekerjaan rumah yang dibutuhkan dalam kehidupan keluarga seperti memasak, menjaga kebersihan, mencuci dan semisalnya.
Seorang wanita semestinya melakukan tugas-tugas di atas dengan penuh kerelaan dan kelapangan hati dan kesadaran bahwa hal itu merupakan ibadah kepada Allah. Telah lewat teladan dari para sahabat dalam masalah ini. Mungkin kita masih ingat bagaimana kisah Fathimah bintu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang menggiling gandum sendiri untuk membuat kue hingga membekaskan kapalan pada kedua tangannya. Ketika akhirnya ia meminta pembantu kepada ayahnya untuk meringankan pekerjaannya maka sang ayah yang mulia memberikan yang lebih baik bagi putri terkasih.
أَلاَ أَدُلُّكُمَا عَلَى خَيْرِ مِمَّا سَأَلْتُمَانِي؟ إِذَا أَخَذْتُمَا مَضَاجِعَكُمَا فَكَبِّرَا اللهَ أَرْبَعًا وَثَلاثِيْنَ, وَاحْمَدَا ثَلاثًا وَثَلاثِيْنَ, وَسَبِّحَا ثَلاثًا وَثلاثِيْنَ, فَإِنَّ ذَلِكَ خَيْرٌ لَكُمَا مِمَّا سَأَلْتُمَاهُ
“Maukah aku tunjukkan yang lebih baik bagi kalian berdua daripada seorang pembantu? Bila kalian berdua hendak berbaring di tempat tidur kalian, bertakbirlah 34 kali, bertahmidlah 33 kali dan bertasbihlah 33 kali. Maka yang demikian itu lebih baik bagi kalian daripada apa yang kalian minta.” (HR. Al-Bukhari no. 3113 dan Muslim no. 2727)
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sama sekali tidak mengingkari khidmat yang dilakukan putrinya dengan penuh kepayahan, padahal putrinya adalah wanita yang utama dan mulia. Bahkan beliau mengakui khidmat tersebut dan memberi hiburan kepada putrinya dengan perkara ibadah yang lebih baik daripada seorang pembantu.
3. Menjaga rahasia suami dan kehormatannya sehingga menumbuhkan kepercayaan suami secara penuh terhadapnya.
4. Menjaga harta suami.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ نِسَاءِ رَكِبْنَ اْلإِبِل صَالِحُ نِسَاءِ فُرَيْشٍ: أَحْنَاهُ عَلَى وَلَدٍ فِي صَغِيْرِهِ, وَأَرْعَاهُ عَلَى زَوْجٍ فِي ذَاتِ يَدِهِ
“Sebaik-baik wanita penunggang unta, wanita Quraisy yang baik, adalah yang sangat penyayang terhadap anaknya ketika kecilnya dan sangat menjaga suami dalam apa yang ada di tangannya.” (HR. Al-Bukhari no. 5082 dan Muslim no. 2527).
Maksud sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam: adalah wanita itu sangat menjaga dan memelihara harta suami dengan berbuat amanah dan tidak boros dalam membelanjakannya. (Fathul Bari, 9/152)
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Hadits ini menunjukkan keutamaan sifat kasih sayang (dari seorang ibu), tarbiyah yang baik, mengurusi anak-anak, menjaga harta suami, mengurusi dan mengaturnya dengan cara yang baik.” (Fathul Bari, 9/152)
5. Bergaul dengan suami dengan cara yang baik.
Dengan memaafkan kesalahan suami bila ia bersalah, membuatnya ridha ketika ia marah, menunjukkan rasa cinta kepadanya dan penghargaan, mengucapkan kata-kata yang baik dan wajah yang selalu penuh senyuman. Juga memperhatikan makanan, minuman dan pakaian suami.
6. Mengatur waktu sehingga semua pekerjaan tertunaikan pada waktunya, menjaga kebersihan dan keteraturan rumah sehingga selalu tampak rapi hingga menyenangkan pandangan suami dan membuat anak-anak pun betah.
7. Jujur terhadap suami dalam segala sesuatu, khususnya ketika ada sesuatu yang terjadi sementara suami berada di luar rumah. Jauhi sifat dusta karena hal ini akan menghilangkan kepercayaan suami.
Ketiga: mendidik anak-anak (tarbiyatul aulad)
Tugas ini termasuk tugas terpenting seorang wanita di dalam rumahnya, karena dengan memperhatikan pendidikan anak-anaknya berarti ia mempersiapkan sebuah generasi yang baik dan diridhai oleh Rabbul Alamin. Dan tanggung jawab ini ia tunaikan bersama-sama dengan suaminya karena setiap mereka adalah mas’ul yang akan ditanya tentang tanggung jawabnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا قُوْا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيْكُمْ نَارًا
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adhaah manusia dan batu.” (At-Tahrim: 6)
Keempat: mengerjakan pekerjaan lain di dalam rumah bila ada kelapangan waktu dan kesempatan, seperti menjahit pakaian untuk keluarga dan selainnya. Dengan cara ini ia bisa berhemat untuk keluarganya di samping membantu suami menambah penghasilan keluarga.
Apa yang disebutkan di atas dari tugas seorang wanita merupakan tugas yang berat namun akan bisa ditunaikan dengan baik oleh seorang wanita yang shalihah yang membekali dirinya dengan ilmu agama, ditambah bekal pengetahuan yang diperlukan untuk mendukung tugasnya di dalam rumah. Adapun bila wanita itu tidak shalihah, jahil lagi bodoh maka di tangannya akan tersia-siakan tugas yang mulia tersebut.
Wallahu ta’ala a’lam.

Foot note:
1 Adapun penyebutan bahwa nama ayah kedua wanita tersebut adalah Nabi Syu’aib, hal ini tidak tsabit (tidak benar). Hal ini diterangkan oleh Ibnu Katisr dalam Tafsir-nya (3/467), menukil perkataan Ibnu Jarir: “Yang benar bahwa hal seperti ini tidak dapat diketahui kecuali dengan adanya kabar/ atsar, dan tidak ada atsar (berita) yang dapat menjadi pegangan dalam hal ini.” (ed)
2 Yaitu wanita harus tinggal dalam rumahnya dan melakukan pekerjaan di dalam rumah.


Read More......

Dalam Labuhan Lembutnya Kasihmu

Penulis: Ummu Ishaq Zulfa Husein

Suami adalah nahkoda dalam bahtera rumah tangga, demikian syariat telah menetapkan. Dengan kesempurnaan hikmah-Nya, Allah ta`ala telah mengangkat suami sebagai qawwam (pemimpin).
الرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلىَ النِّسَاءِ
”Kaum pria adalah qawwam bagi kaum wanita…." (An-Nisa: 34)
Suamilah yang kelak akan ditanya dan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah ta`ala tentang keluarganya, sebagaimana diberitakan oleh Rasul yang mulia shallallahu alaihi wasallam:
اَلرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْهُمْ
"Laki-laki (suami) adalah pemimpin bagi keluarganya dan kelak ia akan ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang mereka." (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 2554 dan Muslim no. 1829)


Dalam menjalankan fungsinya ini, seorang suami tidak boleh bersikap masa bodoh, keras, kaku dan kasar terhadap keluarganya. Bahkan sebaliknya, ia harus mengenakan perhiasan akhlak yang mulia, penuh kelembutan, dan kasih sayang. Meski pada dasarnya ia adalah seorang yang berwatak keras dan kaku, namun ketika berinteraksi dengan orang lain, terlebih lagi dengan istri dan anak-anaknya, ia harus bisa bersikap lunak agar mereka tidak menjauh dan berpaling. Dan sikap lemah lembut ini merupakan rahmat dari Allah subhanahu wa ta'ala sebagaimana kalam-Nya ketika memuji Rasul-Nya yang mulia:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظاًّ غَلِيْظَ الْقَلْبِ لاَنْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ
"Karena disebabkan rahmat Allah lah engkau dapat bersikap lemah lembut dan lunak kepada mereka. Sekiranya engkau itu adalah seorang yang kaku, keras lagi berhati kasar, tentu mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu." (Ali 'Imran: 159)
Dalam tanzil-Nya, Allah subhanahu wa ta`ala juga memerintahkan seorang suami untuk bergaul dengan istrinya dengan cara yang baik.

وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
"Dan bergaullah dengan mereka (para istri) dengan cara yang baik." (An-Nisa: 19)
Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan ayat di atas, menyatakan: "Yakni perindah ucapan kalian terhadap mereka (para istri) dan perbagus perbuatan dan penampilan kalian sesuai kadar kemampuan. Sebagaimana engkau menyukai bila ia (istri) berbuat demikian, maka engkau (semestinya) juga berbuat hal yang sama. Allah ta`ala berfirman dalam hal ini:

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
"Dan para istri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma`ruf." (Al-Baqarah: 228)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sendiri telah bersabda:
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ, وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِيْ
"Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya (istrinya). Dan aku adalah orang yang paling baik di antara kalian terhadap keluargaku (istriku)."
Termasuk akhlak Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau sangat baik hubungannya dengan para istrinya. Wajahnya senantiasa berseri-seri, suka bersenda gurau dan bercumbu rayu dengan istri, bersikap lembut terhadap mereka dan melapangkan mereka dalam hal nafkah serta tertawa bersama istri-istrinya. Sampai-sampai, beliau pernah mengajak 'Aisyah Ummul Mukminin berlomba, untuk menunjukkan cinta dan kasih sayang beliau terhadapnya." (Tafsir Ibnu Katsir, 1/477)
Masih menurut Al-Hafidz Ibnu Katsir: "(Termasuk cara Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam memperlakukan para istrinya secara baik) setiap malam beliau biasa mengumpulkan para istrinya di rumah istri yang mendapat giliran malam itu. Hingga terkadang pada sebagian waktu, beliau dapat makan malam bersama mereka. Setelah itu, masing-masing istrinya pun kembali ke rumah. Beliau pernah tidur bersama salah seorang istrinya dalam satu pakaian. Beliau meletakkan rida (semacam pakaian ihram bagian atas)-nya dari kedua pundaknya, dan tidur dengan kain/ sarung. Dan biasanya setelah shalat 'Isya, beliau shallallahu 'alaihi wasallam masuk rumah dan berbincang-bincang sejenak dengan istrinya sebelum tidur guna menyenangkan mereka. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/477)
Demikian yang diperbuat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, seorang Rasul pilihan, pemimpin umat, sekaligus seorang suami dan pemimpin dalam rumah tangganya. Kita dapati petikan kisah beliau dengan keluarganya, sarat dengan kelembutan dan kemuliaan akhlak. Sementara kita diperintah untuk menjadikan beliau sebagai contoh teladan.

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللهَ وَالْيَوْمَ اْلأَخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيْراً
"Sungguh telah ada bagi kalian pada diri Rasulullah contoh yang baik bagi orang yang mengharapkan perjumpaan dengan Allah dan hari akhir. Dan dia banyak mengingat Allah." (Al-Ahzab: 21)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa`di rahimahullah berkata: "Ayat Allah ta`ala: وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
(Dan bergaullah dengan mereka (para istri) dengan cara yang ma`ruf) meliputi pergaulan dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Karena itu, sepantasnya bagi suami untuk mempergauli istrinya dengan cara yang ma`ruf, menemani dan menyertai (hari-hari bersamanya) dengan baik, menahan gangguan terhadapnya (tidak menyakitinya), mencurahkan kebaikan dan memperbagus hubungan dengannya, termasuk dalam hal ini pemberian nafkah, pakaian dan semisalnya. Dan hal ini berbeda-beda sesuai dengan perbedaan keadaan." (Taisir Al-Karimirir Rahman, hal. 172)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sendiri menjadikan ukuran kebaikan seseorang bila ia dapat bersikap baik terhadap istrinya. Beliau pernah bersabda:
أَكْمَلُ المُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنَسَائِهِمْ
"Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya di antara mereka. Dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya." (HR. Ahmad 2/527, At-Tirmidzi no. 1172. Dihasankan oleh Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/336-337)
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menyatakan:
خِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنَسَائِهِمْ
karena para istri adalah makhluk Allah yang lemah sehingga sepantasnya menjadi tempat curahan kasih sayang. (Tuhfatul Ahwadzi, 4/273)
Di sisi lain, beliau shallallahu alaihi wasallam memerintahkan untuk berhias dengan kelembutan, sebagaimana tuntunan beliau kepada istrinya Aisyah:
عَلَيْكِ بِالرِّفْقِ
"Hendaklah engkau bersikap lembut ." (Shahih, HR. Muslim no. 2594)
Dan beliau shallallahu alaihi wasallam menyatakan:

إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُوْنَ فِي شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلاَّ شَانَهُ
"Sesungguhnya kelembutan itu tidaklah ada pada sesuatu melainkan ia akan menghiasinya (menjadikan sesuatu itu indah). Dan tidaklah dihilangkan kelembutan itu dari sesuatu melainkan akan memperjeleknya." (Shahih, HR. Muslim no. 2594)

إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي اْلأَمْرِ كُلِّهِ
"Sesungguhnya Allah mencintai kelembutan dalam segala hal." (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 6024)
وَيُعْطِي عَلَى الرِّفْقِ مَا لاَ يُعْطِي عَلَى الْعُنْفِ وَمَا لاَ يُعْطِي عَلَى سِوَاهُ
"Dan Allah memberikan kepada sikap lembut itu dengan apa yang tidak Dia berikan kepada sikap kaku/ kasar dan dengan apa yang tidak Dia berikan kepada selainnya." (Shahih, HR. Muslim no. 2593)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: "Dalam hadits-hadits ini menunjukkan keutamaan sikap lemah lembut (ar-rifq dengan makna yang telah disebutkan, red) dan penekanan untuk berakhlak dengannya. Serta celaan terhadap sikap keras, kaku, dan bengis. Kelembutan merupakan sebab setiap kebaikan. Yang dimaksud dengan Allah memberikan kepada sikap lembut ini adalah Allah memberikan pahala atasnya dengan pahala yang tidak diberikan kepada selainnya.
Al-Qadhi berkata: "Maknanya dengan kebaikan tersebut akan dimudahkan tercapainya tujuan-tujuan yang diinginkan dan akan dimudahkan segala tuntutan, maksud dan tujuan yang ada. Di mana hal ini tidak dimudahkan dan tidak disediakan untuk yang selainnya." (Syarah Shahih Muslim, 16/145)
Dalam hubungan dengan istri dan keluarga, seorang suami harus membiasakan diri dengan sifat rifq ini. Termasuk kelembutan seorang suami ialah bila ia menyempatkan untuk bercanda dan bersenda gurau dengan istrinya. Hal ini dilakukan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan istrinya sebagaimana dinukilkan di atas. 'Aisyah radhiallahu anha menceritakan apa yang ia alami dengan suami dan kekasihnya yang mulia. Dalam sebuah safar (perjalanan), Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda kepada para shahabatnya:
"Majulah kalian (jalan duluan)". Maka mereka pun berjalan mendahului beliau. Lalu beliau berkata kepada 'Aisyah (yang ketika itu masih belia dan langsing): "Ayo, kita berlomba lari". Kata Aisyah: "Akupun berlomba bersama beliau dan akhirnya dapat mendahului beliau". Waktupun berlalu. Ketika Aisyah telah gemuk, Rasulullah kembali mengajaknya berlomba dalam satu safar yang beliau lakukan bersama 'Aisyah. Beliau bersabda kepada para shahabatnya: "Majulah kalian". Maka mereka pun mendahului beliau. Lalu beliau berkata kepadaku: "Ayo, kita berlomba lari". Kata 'Aisyah: "Aku berusaha mendahului beliau namun beliau dapat mengalahkanku". Mendapatkan hal itu, beliau pun tertawa seraya berkata: "Ini sebagai balasan lomba yang lalu (kedudukannya seri, red)." (HR. Abu Dawud no. 2214. Asy-Syaikh Muqbil menshahihkan sanad hadits ini dalam takhrij beliau terhadap Tafsir Ibnu Katsir, 2/286).
Allah ta`ala Yang Maha Adil menciptakan wanita dengan segala kekurangan dan kelemahannya. Ia butuh dibimbing dan diluruskan karena ia merupakan makhluk yang diciptakan dari tulang yang bengkok. Namun meluruskannya butuh kelembutan dan kesabaran agar ia tidak patah.
المرْأَةُ كَالضِّلَعِ إِنْ أَقَمْتَهَا كَسَرْتَهَا, وَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اِسْتَمْتَعْتَ بِهَا وَفِيْهَا عِوَجٌ
"Wanita itu seperti tulang rusuk, bila engkau meluruskannya engkau akan mematahkannya. Dan bila engkau ingin bersenang-senang dengannya, engkau dapat bersenang-senang dengannya namun pada dirinya ada kebengkokan."
Demikian disabdakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam hadits yang diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya (no. 5184) dan Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya (no. 1468). Dan hadits ini diberi judul bab oleh Al-Imam Al-Bukhari dengan bab Al-Mudarah ma`an Nisa (Bersikap baik, ramah dan lemah lembut terhadap para istri).
Rasul yang mulia, shallallahu 'alaihi wasallam, juga bersabda:

وَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّهُنَّ خُلِقْنَ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلاهُ, فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهُ, وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا
"Berwasiatlah kalian kepada para wanita (istri) karena mereka itu diciptakan dari tulang rusuk. Dan bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah bagian yang paling atas. Bila engkau paksakan untuk meluruskannya, maka engkau akan mematahkannya. Namun bila engkau biarkan begitu saja (tidak engkau luruskan) maka dia akan terus menerus bengkok. Karena itu berwasiatlah kalian kepada para wanita (istri)." (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 5186 dan Muslim no. 1468)
Dalam riwayat Muslim disebutkan:
وَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهُ وَكَسْرُهَا طَلاقُهَا
"Dan bila engkau paksakan untuk meluruskannya, maka engkau akan mematahkannya. Dan patahnya adalah dengan menceraikannya."
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-'Asqalani rahimahullah berkata: "Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam (فَاسْتَوْصُوْا) maksudnya adalah aku wasiatkan kepada kalian untuk berbuat baik dengan para wanita (istri). Maka terimalah wasiatku ini berkenaan dengan diri mereka, dan amalkanlah."
Beliau melanjutkan: "Dan dalam sabda Nabi (بِالنِّسَاءِ خَيْرًا ) seakan-akan ada isyarat agar suami meluruskan istrinya dengan lembut, tidak berlebih-lebihan hingga mematahkannya. Dan tidak pula membiarkannya hingga ia terus menerus di atas kebengkokannya." (Fathul Bari, 9/306)
Dalam hadits ini juga ada beberapa faidah, di antaranya disukai untuk bersikap baik dan lemah lembut terhadap istri untuk menyenangkan hatinya, Di dalam hadits ini juga menunjukkan bagaimana mendidik wanita dengan memaafkan dan bersabar atas kebengkokan mereka. Siapa yang tidak berupaya meluruskan mereka (dengan cara yang halus), dia tidak akan dapat mengambil manfaat darinya. Padahal, tidak ada seorang pun yang tidak butuh dengan wanita untuk mendapatkan ketenangan bersamanya dan membantu dalam kehidupannya. Hingga seakan-akan Nabi mengatakan: "Merasakan kenikmatan dengan istri tidak akan sempurna kecuali dengan bersabar terhadapnya". Dan satu faidah lagi yang tidak boleh diabaikan adalah tidak disenangi bagi seorang suami untuk menceraikan istrinya tanpa sebab yang jelas. (Lihat Fathul Bari, 9/306, Syarah Shahih Muslim, 10/57)
Dengan adanya tuntunan beliau di atas, seyogyanya seorang suami menjalankan tugasnya sebagai pemimpin dengan penuh kelembutan dan kasih sayang kepada istri dan keluarganya yang lain. Sebagaimana istrinya pun diperintah untuk taat kepadanya dalam perkara yang baik, sehingga akan terwujud ketenangan di antara keduanya dan abadilah ikatan cinta dan kasih sayang.

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِتَسْكُنُوْا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً
"Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untuk kalian istri-istri (pasangan hidup) dari jenis kalian agar kalian merasakan ketenangan bersamanya dan Dia menjadikan cinta dan kasih sayang di antara kalian." (Ar-Rum: 21)
هُوَ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا
"Dialah yang menciptakan kalian dari jiwa yang satu dan Dia menjadikan pasangan dari jiwa yang satu itu, agar jiwa tersebut merasa tenang bersamanya." (Al-A`raf: 189)
Demikian kemuliaan dan kelembutan Islam yang menuntut pengamalan dari kita sebagai insan yang mengaku tunduk kepada aturan Ilahi. Wallahu ta`ala a`lam bish-shawab.


Sumber: www.asysyariah.com

Read More......

Hak-hak Wanita dalam Islam

Penulis : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah

Sesungguhnya Islam menempatkan wanita pada posisi yang tinggi dan sejajar de-ngan pria. Namun dalam beberapa hal ada yang harus berbeda, karena pria dan wanita hakikatnya adalah makhluk yang berbeda. Kesalahan dalam memahami ajaran yang benar inilah yang menjadikan Islam kerap dituding sebagai agama yang menempatkan wanita sebagai “warga kelas dua.” Benarkah? Simak kupasannya!


Suatu hal yang tidak kita sangsikan bahwa Islam demikian memuliakan wanita, dari semula makhluk yang tiada berharga di hadapan “peradaban manusia”, diinjak-injak kehormatan dan harga dirinya, kemudian diangkat oleh Islam ditempatkan pada tempat yang semestinya dijaga, dihargai, dan dimuliakan. Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberikan banyak kebaikan kepada hamba-hamba-Nya.
Keterangan ringkas yang akan dibawakan, sedikitnya akan memberikan gambaran bagaimana Islam menjaga hak-hak kaum wanita, sejak mereka dilahirkan ke muka bumi, dibesarkan di tengah keluarganya sampai dewasa beralih ke perwalian sang suami.

1. Pada Masa Kanak-kanak
Di masa jahiliah tersebar di kalangan bangsa Arab khususnya, kebiasaan menguburkan anak perempuan hidup-hidup karena keengganan mereka memelihara anak perempuan. Lalu datanglah Islam mengharamkan perbuatan tersebut dan menuntun manusia untuk berbuat baik kepada anak perempuan serta menjaganya dengan baik. Ganjaran yang besar pun dijanjikan bagi yang mau melaksanakannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan anjuran dalam sabda-Nya:

مَنْ عَالَ جَارِيَتَيْنِ حَتَّى تَبْلُغَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَنَا وَهُوَ (وَضَمَّ أَصَابِعَهُ)

“Siapa yang memelihara dua anak perempuan hingga keduanya mencapai usia baligh maka orang tersebut akan datang pada hari kiamat dalam keadaan aku dan dia1 seperti dua jari ini.” Beliau menggabungkan jari-jemarinya. (HR. Muslim no. 6638 dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu)
‘Aisyah radhiyallahu 'anha berkisah: “Datang ke rumahku seorang wanita peminta-minta beserta dua putrinya. Namun aku tidak memiliki apa-apa yang dapat kusedekahkan kepada mereka kecuali hanya sebutir kurma. Wanita tersebut menerima kurma pemberianku lalu dibaginya untuk kedua putrinya, sementara ia sendiri tidak memakannya. Kemudian wanita itu berdiri dan keluar dari rumahku. Tak berapa lama masuklah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kuceritakan hal tersebut kepada beliau. Usai mendengar penuturanku beliau bersabda:

مَنِ ابْتُلِيَ مِنْ هَذِهِ الْبَنَاتِ بِشَيْءٍ فَأَحْسَنَ إِلَيْهِنَّ كُنَّ لَهُ سِتْرًا مِنَ النَّارِ

“Siapa yang diuji dengan sesuatu dari anak-anak perempuannya lalu ia berbuat baik kepada mereka maka mereka akan menjadi penghalang/penutup baginya dari api neraka.” (HR. ِAl-Bukhari no. 1418 dan Muslim no. 6636)
Kata Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu dalam penjelasan atas hadits di atas: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutnya dengan ujian (ibtila`), karena manusia biasanya tidak menyukai anak perempuan (lebih memilih anak lelaki), sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang kebiasaan orang-orang jahiliah:

وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِاْلأُنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيْمٌ. يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوْءِ مَا بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُوْنٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلاَ ساَءَ مَا يَحْكُمُوْنَ

“Apabila salah seorang dari mereka diberi kabar gembira dengan kelahiran anak perempuan, menjadi merah padamlah wajahnya dalam keadaan ia menahan amarah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak karena buruknya berita yang disampaikan kepadanya. (Ia berpikir) apakah ia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya hidup-hidup di dalam tanah? Ketahuilah alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (An-Nahl: 58-59)
Hadits-hadits yang telah disebutkan di atas menunjukkan keutamaan berbuat baik kepada anak perempuan, memberikan nafkah kepada mereka dan bersabar memelihara mereka. (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 16/395)
Islam mewajibkan kepada seorang ayah untuk menjaga anak perempuannya, memberi nafkah kepadanya sampai ia menikah dan memberikan kepadanya bagian dari harta warisan.

2. Dalam masalah pernikahan
Wanita diberi hak untuk menentukan pendamping hidupnya dan diperkenankan menolak calon suami yang diajukan orang tua atau kerabatnya bila tidak menyukainya. Beberapa hadits di bawah ini menjadi bukti:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تُنْكَحُ اْلأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ. قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَكَيْفَ إِذْنُهَا؟ قَالَ: أَنْ تَسْكُتَ

“Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah (dimintai pendapatnya), dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan hingga diminta izinnya.” Para sahabat berkata: “Wahai Rasulullah, bagaimanakah izinnya seorang gadis?” “Izinnya adalah dengan ia diam”, jawab Rasulullah. (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 3458 dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu)
‘Aisyah radhiyallahu 'anha berkata:

يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ الْبِكْرَ تَسْتَحِي. قاَلَ: رِضَاهَا صَمْتُهَا

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya seorang gadis itu malu (untuk menjawab bila dimintai izinnya dalam masalah pernikahan).” Beliau menjelaskan, “Tanda ridhanya gadis itu (untuk dinikahkan) adalah diamnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5137)
Khansa` bintu Khidam Al-Anshariyyah radhiyallahu 'anha mengabarkan, ayahnya menikahkannya dengan seorang lelaki ketika ia menjanda. Namun ia menolak pernikahan tersebut. Ia adukan perkaranya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, hingga akhirnya beliau membatalkan pernikahannya. (HR. Al-Bukhari no. 5138)
Hadits di atas diberi judul oleh Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu dalam kitab Shahih-nya: Bab Apabila seseorang menikahkan putrinya sementara putrinya tidak suka maka pernikahan itu tertolak.
Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr Ash-Shiddiq menceritakan, salah seorang putri Ja’far2 merasa khawatir walinya akan menikahkannya secara paksa. Maka ia mengutus orang untuk mengadukan hal tersebut kepada dua syaikh dari kalangan Anshar, ‘Abdurrahman dan Majma’, keduanya adalah putra Yazid bin Jariyah. Keduanya berkata, “Janganlah kalian khawatir, karena ketika Khansa` bintu Khidam dinikahkan ayahnya dalam keadaan ia tidak suka, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menolak pernikahan tersebut.” (HR. Al-Bukhari no. 6969)
Buraidah ibnul Hushaib radhiyallahu 'anhu mengabarkan:

جَاءَتْ فَتَاةٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقاَلَتْ: إِنَّ أَبِي زَوَّجَنِي ابْنَ أَخِيْهِ لِيَرْفَعَ بِي خَسِيْسَتَهُ. قَالَ: فَجَعَلَ اْلأَمْرَ إِلَيْهَا، فَقَالَتْ: قَدْ أَجَزْتُ مَا صَنَعَ أَبِي، وَلَكِنْ أَرَدْتُ أَنْ تَعْلَمَ النِّسَاءُ أَنْ لَيْسَ لِلآبَاءِ مِنَ اْلأَمْرِ شَيْءٌ

“Pernah datang seorang wanita muda menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rangka mengadu, ‘Ayahku menikahkanku dengan anak saudaranya untuk menghilangkan kehinaan yang ada padanya dengan pernikahanku tersebut’, ujarnya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan keputusan padanya (apakah meneruskan pernikahan tersebut atau membatalkannya). Si wanita berkata, ‘Aku membolehkan ayah untuk melakukannya. Hanya saja aku ingin para wanita tahu bahwa ayah mereka tidak memiliki urusan sedikitpun dalam memutuskan perkara seperti ini’.” (HR. Ibnu Majah no. 1874, kata Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullahu dalam Al-Jami’ush Shahih (3/64), “Hadits ini shahih menurut syarat Al-Imam Muslim.”)
Islam memberikan hak seperti ini kepada wanita karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan wanita sebagai penenang bagi suaminya dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kehidupan suami istri ditegakkan di atas mawaddah wa rahmah. Maka bagaimana akan terwujud makna yang tinggi ini apabila seorang gadis diambil secara paksa sebagai istri sementara ia dalam keadaan tidak suka? Lalu bila demikian keadaannya, sampai kapan pernikahan itu akan bertahan dengan tenang dan tenteram?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu menyatakan: “Tidak boleh seorang pun menikahkan seorang wanita kecuali terlebih dahulu meminta izinnya sebagaimana hal ini diperintahkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apabila si wanita tidak suka, maka ia tidak boleh dipaksa untuk menikah. Dikecualikan dalam hal ini, bila si wanita masih kecil, karena boleh bagi ayahnya menikahkan gadis kecilnya tanpa meminta izinnya. Adapun wanita yang telah berstatus janda dan sudah baligh maka tidak boleh menikahkannya tanpa izinnya, sama saja baik yang menikahkannya itu ayahnya atau yang lainnya. Demikian menurut kesepakatan kaum muslimin.”
Ibnu Taimiyyah rahimahullahu melanjutkan: “Ulama berbeda pendapat tentang izin gadis yang akan dinikahkan, apakah izinnya itu wajib hukumnya atau mustahab (sunnah). Yang benar dalam hal ini adalah izin tersebut wajib. Dan wajib bagi wali si wanita untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam memilih lelaki yang akan ia nikahkan dengan si wanita, dan hendaknya si wali melihat apakah calon suami si wanita tersebut sekufu atau tidak. Karena pernikahan itu untuk kemaslahatan si wanita, bukan untuk kemaslahatan pribadi si wali.” (Majmu’ Fatawa, 32/39-40)
Islam menetapkan kepada seorang lelaki yang ingin menikahi seorang wanita agar memberikan mahar pernikahan kepada si wanita. Dan mahar itu nantinya adalah hak si wanita, tidak boleh diambil sedikitpun kecuali dengan keridhaannya.

وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوْهُ هَنِيْئًا مَرِيْئًا

“Berikanlah mahar kepada para wanita (yang kalian nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian dengan senang hati sebagian dari mahar tersebut, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (An-Nisa`: 4)
Al-Imam Al-Qurthubi Subhanahu wa Ta’ala berkata, “Ayat ini menunjukkan wajibnya pemberian mahar kepada wanita yang dinikahi. Ulama menyepakati hal ini tanpa ada perbedaan pendapat, kecuali riwayat sebagian ahlul ilmi dari penduduk Irak yang menyatakan bila seorang tuan menikahkan budak laki-lakinya dengan budak wanitanya maka tidak wajib adanya mahar. Namun pendapat ini tidak dianggap.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 5/17)

3. Sebagai Seorang Ibu
Islam memuliakan wanita semasa kecilnya, ketika remajanya dan saat ia menjadi seorang ibu. Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan seorang anak untuk berbakti kepada kedua orang tuanya, ayah dan ibu. Allah Subhanahu wa Ta’ala titahkan hal ini dalam Tanzil-Nya setelah mewajibkan ibadah hanya kepada-Nya:

وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلاً كَرِيْمًا. وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيْرًا

“Rabbmu telah menetapkan agar janganlah kalian beribadah kecuali hanya kepada-Nya dan hendaklah kalian berbuat baik terhadap kedua orangtua. Apabila salah seorang dari keduanya atau kedua-duanya menginjak usia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan jangan membentak keduanya namun ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang, ucapkanlah doa, “Wahai Rabbku, kasihilah mereka berdua sebagaimana mereka telah memelihara dan mendidikku sewaktu kecil.” (Al-Isra`: 23-24)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:

وَوَصَّيْنَا اْلإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلاَثُوْنَ شَهْرًا

“Dan Kami telah mewasiatkan manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah pula. Mengandung sampai menyapihnya adalah tigapuluh bulan…” (Al-Ahqaf: 15)
Ketika shahabat yang mulia, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu 'anhu bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللهِ؟ قَالَ: الصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا. قَالَ: ثُمَّ أَيُّ؟ قَالَ: ثُمَّ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ...

“Amal apakah yang paling dicintai oleh Allah?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Shalat pada waktunya.” “Kemudian apa setelah itu?” tanya ‘Abdullah lagi. Kata beliau, “Kemudian birrul walidain (berbuat baik kepada kedua orang tua)….” (HR. Al-Bukhari no. 504 dan Muslim no. 248)
Kata Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu -seorang shahabat Rasul yang sangat berbakti kepada ibundanya-, “Ada seseorang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قَالَ: أُمُّكَ. قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: أُمُّكَ. قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: أُمُّكَ. قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: ثُمَّ أَبُوْكَ

“Wahai Rasulullah, siapakah di antara manusia yang paling berhak untuk aku berbuat baik kepadanya?” Rasulullah menjawab, “Ibumu.” “Kemudian siapa?” tanyanya lagi. “Ibumu,” jawab beliau. Kembali orang itu bertanya, “Kemudian siapa?” “Ibumu.” “Kemudian siapa?” tanya orang itu lagi. “Kemudian ayahmu,” jawab Rasulullah. (HR. Al-Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 6447)
Hadits di atas menunjukkan pada kita bahwa hak ibu lebih tinggi daripada hak ayah dalam menerima perbuatan baik dari anaknya. Hal itu disebabkan seorang ibulah yang merasakan kepayahan mengandung, melahirkan, dan menyusui. Ibulah yang bersendiri merasakan dan menanggung ketiga perkara tersebut, kemudian nanti dalam hal mendidik baru seorang ayah ikut andil di dalamnya. Demikian dinyatakan Ibnu Baththal rahimahullahu sebagaimana dinukil oleh Al-Hafidz rahimahullahu. (Fathul Bari, 10/493)
Islam mengharamkan seorang anak berbuat durhaka kepada ibunya sebagaimana ditegaskan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau:

إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ عُقُوْقَ اْلأُمَّهَاتِ...

“Sesungguhnya Allah mengharamkan kalian berbuat durhaka kepada para ibu…” (HR. Al-Bukhari no. 5975 dan Muslim no. 593)
Al-Hafizh rahimahullahu menerangkan, “Dikhususkan penyebutan para ibu dalam hadits ini karena perbuatan durhaka kepada mereka lebih cepat terjadi daripada perbuatan durhaka kepada ayah disebabkan kelemahan mereka sebagai wanita. Dan juga untuk memberikan peringatan bahwa berbuat baik kepada seorang ibu dengan memberikan kelembutan, kasih sayang dan semisalnya lebih didahulukan daripada kepada ayah.” (Fathul Bari, 5/86)
Sampai pun seorang ibu yang masih musyrik ataupun kafir, tetap diwajibkan seorang anak berbuat baik kepadanya. Hal ini ditunjukkan dalam hadits Asma` bintu Abi Bakr radhiyallahu 'anha. Ia berkisah: “Ibuku yang masih musyrik datang mengunjungiku bertepatan saat terjalinnya perjanjian antara Quraisy dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku pun bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Ibuku datang berkunjung dan memintaku untuk berbuat baik kepadanya. Apakah aku boleh menyambung hubungan dengannya?” Beliau menjawab, “Ya, sambunglah hubungan dengan ibumu.” (HR. Al-Bukhari no. 5979)

4. Sebagai Istri
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan seorang suami agar bergaul dengan istrinya dengan cara yang baik.

وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ

“Dan bergaullah dengan mereka (para istri) dengan cara yang baik.” (An-Nisa`: 19)
Asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu berkata, “Ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ meliputi pergaulan dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Karena itu, sepantasnya seorang suami mempergauli istrinya dengan cara yang ma’ruf, menemani, dan menyertai (hari-hari bersamanya) dengan baik, menahan gangguan terhadapnya (tidak menyakitinya), mencurahkan kebaikan dan memperbagus hubungan dengannya. Termasuk dalam hal ini pemberian nafkah, pakaian, dan semisalnya. Dan tentunya pemenuhannya berbeda-beda sesuai dengan perbedaan keadaan.” (Taisir Al-Karimirir Rahman, hal. 172)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para suami:

لاَ تَضْرِبُوا إِمَاءَ اللهِ

“Janganlah kalian memukul hamba-hamba perempuan Allah.”
‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu 'anhu datang mengadu, “Wahai Rasulullah, para istri berbuat durhaka kepada suami-suami mereka.” Mendengar hal itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan untuk memukul istri bila berbuat durhaka. Selang beberapa waktu datanglah para wanita dalam jumlah yang banyak menemui istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengadukan perbuatan suami mereka. Mendengar pengaduan tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَيْسَ أُولَئِكَ بِخِيَارِكُمْ

“Mereka itu bukanlah orang yang terbaik di antara kalian.” (HR. Abu Dawud no. 2145, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud)
Beliau juga pernah bersabda:

أَكْمَلُ المُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا، وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنَسَائِهِمْ

“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya di antara mereka. Dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya.” (HR. Ahmad 2/527, At-Tirmidzi no. 1172. Dihasankan oleh Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/336-337)
Banyak hak yang diberikan Islam kepada istri, seperti suami dituntut untuk bergaul dengan baik terhadap istrinya, ia berhak memperoleh nafkah, pengajaran, penjagaan dan perlindungan, yang ini semua tidak didapatkan oleh para istri di luar agama Islam.
Bila sudah demikian penjagaan Islam terhadap hak wanita dan pemuliaan Islam terhadap kaum wanita; lalu apa lagi yang ingin diteriakkan oleh kalangan feminis yang katanya memperjuangkan hak wanita, padahal sebenarnya ingin mencampakkan wanita kembali ke lembah kehinaan, terpuruk dan terinjak-injak?
Wallahul musta’an.

1 Maknanya:

جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَنَا وَهُوَ كَهَاتَيْنِ

2 Kemungkinan terbesar Ja’far yang dimaksud adalah Ja’far bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu, kata Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu. (Fathul Bari, 12/426)

Sumber: www.asysyariah.com

Read More......

Hak Istri dalam Islam

Penulis : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah

Banyak fakta tak terbantahkan bahwa hak-hak istri sering kali diabaikan oleh para suami. Padahal jika kita runut, percikan konflik dalam rumah tangga berakar dari diabaikannya hak-hak istri/suami oleh pasangan mereka. Lalu apa saja hak-hak istri yang mesti ditunaikan suami?


Dalam kitab mulia yang tidak dapat disusupi kebatilan sedikit pun, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
“Dan para istri mempunyai hak yang seimbang dengan kewajiban mereka menurut cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 228)
Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Anshari Al-Qurthubi rahimahullahu menyatakan dalam tafsir ayat di atas bahwa para istri memiliki hak terhadap suaminya sebagaimana suami memiliki hak yang harus dipenuhi oleh istrinya. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an/Tafsir Al-Qurthubi, 3/82)
Karena itulah Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata, “Aku senang berhias untuk istriku sebagaimana aku senang bila ia berdandan untukku, karena Allah yang Maha Tinggi sebutan-Nya berfirman:
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
“Dan para istri mempunyai hak yang seimbang dengan kewajiban mereka menurut cara yang ma’ruf.”
Adh-Dhahhak rahimahullahu berkata menafsirkan ayat di atas, “Apabila para istri menaati Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menaati suami-suami mereka, maka wajib bagi suami untuk membaguskan pergaulannya dengan istrinya, menahan dari memberikan gangguan/menyakiti istrinya, dan memberikan nafkah sesuai dengan kelapangannya.” (Jami’ul Bayan fi Ta`wilil Qur`an/Tafsir Ath-Thabari, 2/466)
Al-‘Allamah Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu berkata dalam tafsirnya, “Para istri memiliki hak-hak yang harus dipenuhi oleh suami-suami mereka seimbang dengan kewajiban-kewajiban mereka terhadap suami-suami mereka, baik itu yang wajib maupun yang mustahab. Dan masalah pemenuhan hak suami istri ini kembalinya kepada yang ma’ruf (yang dikenali), yaitu kebiasaan yang berlangsung di negeri masing-masing (tempat suami istri tinggal) dan sesuai dengan zaman.” (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 102)
Hakim bin Mu’awiyah meriwayatkan sebuah hadits dari ayahnya, Mu’awiyah bin Haidah radhiyallahu ‘anhu. Ayahnya ini berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَا حَقُّ زَوْجَةِ أَحَدِنَا عَلَيْهِ؟
“Wahai Rasulullah, apakah hak istri salah seorang dari kami terhadap suaminya?”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ، وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ، وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِي الْبَيْتِ
“Engkau beri makan istrimu apabila engkau makan, dan engkau beri pakaian bila engkau berpakaian. Janganlah engkau memukul wajahnya, jangan menjelekkannya1, dan jangan memboikotnya (mendiamkannya) kecuali di dalam rumah.” (HR. Abu Dawud no. 2142 dan selainnya, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu dalam Al-Jami’ush Shahih, 3/86)
Ketika haji Wada’, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan khutbah di hadapan manusia. Di antara isi khutbah beliau adalah:
أَلاَ إِنَّ لَكُمْ عَلَى نِسَائِكُمْ حَقًّا، وَلِنِسَائِكُمْ عَلَيْكُمْ حَقًّا، فَحَقُّكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوْطِئْنَ فُرُشَكُمْ مَنْ تَكْرَهُوْنَ، وَلاَ يَأْذَنَّ فِي بُيُوْتِكُمْ لِمَنْ تَكْرَهُوْنَ، أَلاَ وَحَقُّهُنَّ عَلَيْكُمْ أَنْ تُحْسِنُوْا إِلَيْهِنَّ فيِ كِسْوَتِهِنَّ وَطَعَامِهِنَّ
“Ketahuilah, kalian memiliki hak terhadap istri-istri kalian dan mereka pun memiliki hak terhadap kalian. Hak kalian terhadap mereka adalah mereka tidak boleh membiarkan seseorang yang tidak kalian sukai untuk menginjak permadani kalian dan mereka tidak boleh mengizinkan orang yang kalian benci untuk memasuki rumah kalian. Sedangkan hak mereka terhadap kalian adalah kalian berbuat baik terhadap mereka dalam hal pakaian dan makanan mereka.” (HR. At-Tirmidzi no. 1163 dan Ibnu Majah no. 1851, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)
Dari ayat di atas berikut beberapa penafsirannya serta dari hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, kita memahami bahwa dalam Islam, kedudukan seorang istri dimuliakan dan diberi hak-hak yang harus dipenuhi oleh pasangan hidupnya. Hal ini termasuk kebaikan agama ini yang memang datang dengan keadilan, di mana wanita tidak hanya dituntut untuk memenuhi kewajibannya namun juga diberikan hak-hak yang seimbang.
Dalam rubrik Mengayuh Biduk kali ini, kami sengaja mengangkat pembahasan tentang hak istri sebagai pengajaran kepada mereka yang belum tahu dan sebagai penyegaran ilmu kepada mereka yang sudah tahu. Setelah selesai membahas hak istri, kami akan lanjutkan pembahasan tentang hak suami dalam edisi mendatang, Insya Allah. Mungkin terlontar tanya, kenapa hak istri lebih dahulu dibahas daripada hak suami? Kami jawab, memang semestinya hak suami lebih dahulu dibicarakan daripada hak istri bahkan hak suami harus dikedepankan. Namun karena tujuan kami adalah ingin menunjukkan pemuliaan Islam kepada kaum wanita dan bagaimana Islam memerhatikan hak-hak wanita, maka kami pun mendahulukan pembicaraan tentang hak istri, tanpa mengurangi penyunjungan kami terhadap hak suami. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Ada beberapa hak yang dimiliki seorang istri terhadap suaminya, di antaranya:

1. Mendapat mahar
Dalam pernikahan seorang lelaki harus menyerahkan mahar kepada wanita yang dinikahinya. Mahar ini hukumnya wajib dengan dalil ayat Allah Subhanahu wa Ta'ala:
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً
“Berikanlah mahar kepada wanita-wanita yang kalian nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” (An-Nisa`: 4)
فَآتُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً
“…berikanlah kepada mereka (istri-istri kalian) maharnya dengan sempurna sebagai suatu kewajiban.” (An-Nisa`: 24)
Dari As-Sunnah pun ada dalil yang menunjukkan wajibnya mahar, yaitu ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seorang shahabatnya yang ingin menikah sementara shahabat ini tidak memiliki harta:
انْظُرْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيْدٍ
“Lihatlah apa yang bisa engkau jadikan mahar dalam pernikahanmu, walaupun hanya cincin dari besi.” (HR. Al-Bukhari no. 5087 dan Muslim no. 3472)2
Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullahu berkata, “Kaum muslimin (ulamanya) telah sepakat tentang disyariatkannya mahar dalam pernikahan.” (Al-Mughni, Kitab Ash-Shadaq)
Mahar merupakan milik pribadi si wanita. Ia boleh menggunakan dan memanfaatkannya sekehendaknya dalam batasan yang diperkenankan syariat. Adapun orang lain, baik ayahnya, saudara laki-lakinya, suaminya, atau selain mereka, tidak boleh menguasai mahar tersebut tanpa keridhaan si wanita. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan:
وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلاَ تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُوْنَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِيْنًا
“Dan jika kalian ingin mengganti salah seorang istri dengan istri yang lain3, sedangkan kalian telah memberikan kepada salah seorang di antara mereka (istri tersebut) harta yang banyak4, maka janganlah kalian mengambil kembali dari harta tersebut walaupun sedikit. Apakah kalian akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan menanggung dosa yang nyata?” (An-Nisa`: 20)

2. Seorang suami harus bergaul dengan istrinya secara patut (ma’ruf) dan dengan akhlak mulia
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا
“Bergaullah kalian dengan para istri secara patut. Bila kalian tidak menyukai mereka maka bersabarlah karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisa`: 19)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا، وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ
“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya.” (HR. At-Tirmidzi no. 1162. Lihat Ash-Shahihah no. 284)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu ketika menafsirkan ayat dalam surah An-Nisa` di atas, menyatakan: “Yakni perindahlah ucapan kalian terhadap mereka (para istri) serta perbaguslah perilaku dan penampilan kalian sesuai kemampuan. Sebagaimana engkau menyukai bila ia (istri) berbuat demikian, maka engkau (semestinya) juga berbuat yang sama. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam hal ini:
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
“Dan para istri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 228)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah bersabda:
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِيْ
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya (istrinya). Dan aku adalah orang yang paling baik di antara kalian terhadap keluarga (istri)-ku.”
Termasuk akhlak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau sangat baik pergaulannya dengan para istrinya. Wajahnya senantiasa berseri-seri, suka bersenda gurau dan bercumbu rayu dengan istri, bersikap lemah-lembut terhadap mereka dan melapangkan mereka dalam hal nafkah serta tertawa bersama mereka. Sampai-sampai, beliau pernah mengajak ‘Aisyah Ummul Mukminin radhiyallahu ‘anha berlomba (lari), dalam rangka menunjukkan cinta dan kasih sayang beliau terhadapnya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/173)
Masih keterangan Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu: “(Termasuk cara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam memperlakukan para istrinya secara baik adalah) setiap malam beliau biasa mengumpulkan para istrinya di rumah istri yang mendapat giliran malam itu. Hingga terkadang pada sebagian waktu, beliau dapat makan malam bersama mereka. Setelah itu, masing-masing istrinya kembali ke rumah mereka. Beliau pernah tidur bersama salah seorang istrinya dalam satu selimut. Beliau meletakkan ridanya dari kedua pundaknya, dan tidur dengan izar. Setelah shalat ‘Isya, biasanya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk rumah dan berbincang-bincang sejenak dengan istrinya sebelum tidur guna menyenangkan mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/173)

3. Mendapat nafkah dan pakaian
Hak mendapat nafkah dan pakaian ini ditunjukkan dalam Al-Qur`anul Karim dari firman-Nya:
وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
“…dan kewajiban bagi seorang ayah untuk memberikan nafkah dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 233)
Demikian pula firman-Nya:
لِيُنْفِقْ ذُوْ سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللهُ لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ مَا آتَاهَا
“Hendaklah orang yang diberi kelapangan memberikan nafkah sesuai dengan kelapangannya dan barangsiapa disempitkan rizkinya maka hendaklah ia memberi nafkah dari harta yang Allah berikan kepadanya. .” (Ath-Thalaq: 7)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu ketika menafsirkan ayat dalam surah Al-Baqarah di atas, menyatakan, “Maksud dari ayat ini adalah wajib bagi seorang ayah untuk memberikan nafkah kepada para ibu yang melahirkan anak-anaknya serta memberi pakaian dengan ma’ruf, yaitu sesuai dengan kebiasaan yang berlangsung dan apa yang biasa diterima/dipakai oleh para wanita semisal mereka, tanpa berlebih-lebihan dan tanpa mengurangi, sesuai dengan kemampuan suami dalam keluasan dan kesempitannya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/371)
Ada pula dalilnya dari As-Sunnah, bahkan didapatkan dalam beberapa hadits. Di antaranya hadits Hakim bin Mu’awiyah bin Haidah yang telah kami bawakan di atas. Demikian pula hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia mengabarkan bahwa Hindun bintu ‘Utbah radhiyallahu ‘anha, istri Abu Sufyan radhiyallahu ‘anhu datang mengadu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيْحٌ وَلَيْسَ يُعْطِيْنِي مَا يَكْفِيْنِي وَوَلَدِي إِلاَّ مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهُوَ لاَ يَعْلَمُ. فَقَالَ: خُذِي مَا يَكْفِيْكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوْفِ
“Wahai Rasulullah, sungguh Abu Sufyan seorang yang pelit5. Ia tidak memberiku nafkah yang dapat mencukupiku dan anakku terkecuali bila aku mengambil dari hartanya tanpa sepengetahuannya6.” Bersabdalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ambillah dari harta suamimu sekadar yang dapat mencukupimu dan mencukupi anakmu dengan cara yang ma’ruf.” (HR. Al-Bukhari no. 5364 dan Muslim no. 4452)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata, “Di dalam hadits ini ada beberapa faedah di antaranya wajibnya memberikan nafkah kepada istri.” (Al-Minhaj, 11/234)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika haji Wada’ berkhutbah di hadapan manusia. Setelah memuji dan menyanjung Allah Subhanahu wa Ta’ala, beliau memberi peringatan dan nasihat. Kemudian bersabda:
أَلاَ وَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّمَا هُنَّ عَوَانٌ عِنْدَكُمْ، لَيْسَ تَمْلِكُوْنَ مِنْهُنَّ شَيْئًا غَيْرَ ذَلِكَ إِلاَّ أَنْ يَأْتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ، فَإِنْ فَعَلْنَ فَاهْجُرُوْهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ، فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلاً، أَلاَ إِنَ لَكُمْ عَلَى نِسَائِكُمْ حَقًّا، وَلِنِسَائِكُمْ عَلَيْكُمْ حَقًّا، فَحَقُّكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوْطِئْنَ فُرُشَكُمْ مَنْ تَكْرَهُوْنَ، وَلاَ يَأْذَنَّ فِي بُيُوْتِكُمْ لِمَنْ تَكْرَهُوْنَ، أَلاَ وَحَقُّهُنَّ عَلَيْكُمْ أَنْ تُحْسِنُوْا إِلَيْهِنَّ فيِ كِسْوَتِهِنَّ وَطَعَامِهِنَّ
“Ketahuilah, berwasiatlah kalian dengan kebaikan kepada para wanita (para istri)7 karena mereka hanyalah tawanan di sisi (di tangan) kalian. Kalian tidak menguasai mereka sedikitpun kecuali hanya itu8, terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata9. Maka bila mereka melakukan hal itu, boikotlah mereka di tempat tidurnya dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak keras. Namun bila mereka menaati kalian, tidak ada jalan bagi kalian untuk menyakiti mereka. Ketahuilah, kalian memiliki hak terhadap istri-istri kalian dan mereka pun memiliki hak terhadap kalian. Hak kalian terhadap mereka adalah mereka tidak boleh membiarkan seorang yang kalian benci untuk menginjak permadani kalian dan mereka tidak boleh mengizinkan orang yang kalian benci untuk masuk ke rumah kalian. Sedangkan hak mereka terhadap kalian adalah kalian berbuat baik terhadap mereka dalam hal pakaian dan makanan mereka.” (HR. At-Tirmidzi no. 1173 dan Ibnu Majah no. 1841, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)
Dalam Nailul Authar (6/374) disebutkan bahwa salah satu kewajiban sekaligus tanggung jawab seorang suami adalah memberi nafkah kepada istri dan anak-anaknya sesuai kemampuannya. Kewajiban ini selain ditunjukkan dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah, juga dengan ijma’ (kesepakatan ulama).
Seberapa banyak nafkah yang harus diberikan, dikembalikan kepada kemampuan suami, sebagaimana ditunjukkan dalam ayat:
لِيُنْفِقْ ذُوْ سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللهُ لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ مَا آتَاهَا
“Hendaklah orang yang diberi kelapangan memberikan nafkah sesuai dengan kelapangannya dan barangsiapa disempitkan rizkinya maka hendaklah ia memberi nafkah dari harta yang Allah berikan kepadanya.” (Ath-Thalaq: 7)

4. Diberi tempat untuk bernaung/tempat tinggal
Termasuk pergaulan baik seorang suami kepada istrinya yang dituntut dalam ayat:
وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
“Bergaullah kalian dengan para istri secara patut.” (An-Nisa`: 19)
adalah seorang suami menempatkan istrinya dalam sebuah tempat tinggal. Di samping itu, seorang istri memang mau tidak mau harus punya tempat tinggal hingga ia dapat menutup dirinya dari pandangan mata manusia yang tidak halal melihatnya. Juga agar ia dapat bebas bergerak serta memungkinkan baginya dan bagi suaminya untuk bergaul sebagaimana layaknya suami dengan istrinya. Tentunya tempat tinggal disiapkan sesuai kadar kemampuan suami sebagaimana pemberian nafkah.

5. Wajib berbuat adil di antara para istri
Bila seorang suami memiliki lebih dari satu istri, wajib baginya untuk berlaku adil di antara mereka, dengan memberikan nafkah yang sama, memberi pakaian, tempat tinggal, dan waktu bermalam. Keharusan berlaku adil ini ditunjukkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُوْلُوا
“…maka nikahilah wanita-wanita yang kalian senangi: dua, tiga, atau empat. Namun jika kalian khawatir tidak dapat berbuat adil di antara para istri nantinya maka nikahilah seorang wanita saja atau dengan budak-budak perempuan yang kalian miliki. Yang demikian itu lebih dekat bagi kalian untuk tidak berbuat aniaya.” (An-Nisa`: 3)
Dalil dari As-Sunnah didapatkan antara lain dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia menyampaikan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ
“Siapa yang memiliki dua istri10 lalu ia condong (melebihkan secara lahiriah) kepada salah satunya maka ia akan datang pada hari kiamat nanti dalam keadaan satu sisi tubuhnya miring/lumpuh.” (HR. Ahmad 2/347, Abu Dawud no. 2133, dll, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud)
Hadits di atas menunjukkan keharaman sikap tidak adil dari seorang suami, di mana ia melebihkan salah satu istrinya dari yang lain. Sekaligus hadits ini merupakan dalil wajibnya suami menyamakan di antara istri-istrinya dalam perkara yang dia mampu untuk berlaku adil, seperti dalam masalah mabit (bermalam), makanan, pakaian, dan pembagian giliran. (‘Aunul Ma’bud, Kitab An-Nikah, bab Fil Qismi Bainan Nisa`)
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu menyatakan, datangnya si suami dalam keadaan seperti yang digambarkan dalam hadits disebabkan ia tidak berlaku adil di antara dua istrinya, menunjukkan berlaku adil itu wajib. Kalau tidak wajib niscaya seorang suami tidak akan dihukum seperti itu. (As-Sailul Jarar Al-Mutadaffiq ‘ala Hada`iqil Azhar, 2/314)
Keharusan berbuat adil yang Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan kepada suami ini tidaklah bertentangan dengan firman-Nya:
وَلَنْ تَسْتَطِيْعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلاَ تَمِيْلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوْهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللهَ كَانَ غَفُوْرًا رَحِيْمًا
“Dan kalian sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri kalian, walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kalian terlalu cenderung kepada istri yang kalian cintai sehingga kalian biarkan istri yang lain terkatung-katung.” (An-Nisa`: 129)
Karena adil yang diperintahkan kepada suami adalah adil di antara para istri dalam perkara yang dimampu oleh suami. Adapun adil yang disebutkan dalam surah An-Nisa` di atas adalah berbuat adil yang kita tidak mampu melakukannya, yaitu adil dalam masalah kecenderungan hati dan cinta.
Al-Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari rahimahullahu berkata, “Kalian, wahai para suami, tidak akan mampu menyamakan di antara istri-istri kalian dalam hal rasa cinta di hati kalian kepada mereka, sampai pun kalian berusaha adil dalam hal itu. Karena hati kalian tidak bisa mencintai sebagian mereka sama dengan yang lain. Perkaranya di luar kemampuan kalian. Urusan hati bukanlah berada di bawah pengaturan kalian, walaupun kalian sangat ingin berbuat adil di antara mereka.” (Tafsir Ath-Thabari, 4/312)
Masih kata Al-Imam Ath-Thabari rahimahullahu, “Maka janganlah kalian terlalu cenderung (melebihkan) dengan hawa nafsu kalian terhadap istri yang kalian cintai hingga membawa kalian untuk berbuat dzalim kepada istri yang lain dengan meninggalkan kewajiban kalian terhadap mereka dalam memenuhi hak pembagian giliran, nafkah, dan bergaul dengan ma’ruf. Akibatnya, istri yang tidak kalian cintai itu seperti terkatung-katung, yaitu seperti wanita yang tidak memiliki suami namun tidak juga menjanda.” (Tafsir Ath-Thabari, 4/312)
Tidak wajib pula bagi suami untuk berbuat adil dalam perkara jima’, karena jima’ ini didorong oleh syahwat dan adanya kecondongan. Sehingga tidak dapat dipaksakan seorang suami untuk menyamakannya di antara istri-istrinya, karena hatinya terkadang condong kepada salah seorang istrinya sementara kepada yang lain tidak. (Al-Mughni Kitab ‘Isyratun Nisa`, Al-Majmu’, 16/433)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata, “Jima’ bukanlah termasuk syarat dalam pembagian giliran. Hanya saja disenangi bagi suami untuk menyamakan istri-istrinya dalam masalah jima’….” (Al-Majmu’, 16/433)

6. Dibantu untuk taat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, menjaganya dari api neraka dan memberikan pengajaran agama
Seorang suami harus mengajarkan perkara agama kepada istrinya, terlebih lagi bila istrinya belum mendapatkan pengajaran agama yang mencukupi, dimulai dari meluruskan tauhidnya dan mengajarkan amalan-amalan ibadah yang lainnya. Sama saja baik si suami mengajarinya sendiri atau membawanya ke majelis ilmu, atau dengan cara yang lain.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا قُوْا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيْكُمْ نَارًا وَقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu….” (At-Tahrim: 6)
Menjaga keluarga yang dimaksud dalam ayat yang mulia ini adalah dengan cara mendidik, mengajari, memerintahkan mereka, dan membantu mereka untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, serta melarang mereka dari bermaksiat kepada-Nya. Seorang suami wajib mengajari keluarganya tentang perkara yang di-fardhu-kan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Bila ia mendapati mereka berbuat maksiat, segera dinasihati dan diperingatkan. (Tafsir Ath-Thabari, 12/156, 157 dan Ruhul Ma’ani, 138/780,781)
Hadits Malik ibnul Huwairits radhiyallahu ‘anhu juga menjadi dalil pengajaran terhadap istri. Malik berkata, “Kami mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ketika itu kami adalah anak-anak muda yang sebaya. Kami tinggal bersama beliau di kota Madinah selama sepuluh malam. Kami mendapati beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang yang penyayang lagi lembut. Saat sepuluh malam hampir berlalu, beliau menduga kami telah merindukan keluarga kami karena sekian lama berpisah dengan mereka. Beliau pun bertanya tentang keluarga kami, maka cerita tentang mereka pun meluncur dari lisan kami. Setelahnya beliau bersabda:
ارْجِعُوْا إِلَى أَهْلِيْكُمْ فَأَقِيْمُوا فِيْهِمْ وَعَلِّمُوْهُمْ وَمُرُوْهُمْ
“Kembalilah kalian kepada keluarga kalian, tinggallah di tengah mereka dan ajari mereka, serta perintahkanlah mereka.” (HR. Al-Bukhari no. 630 dan Muslim no. 1533)
Seorang suami harus menegakkan peraturan kepada istrinya agar si istri berpegang dengan adab-adab yang diajarkan dalam Islam. Si istri dilarang bertabarruj, ikhtilath, dan keluar rumah dengan memakai wangi-wangian, karena semua itu akan menjatuhkannya ke dalam fitnah. Apatah lagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا بَعْدُ، قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُوْنَ بِهَا النَّاسَ، وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مَائِلاَتٌ مُمِيْلاَتٌ رُؤُوْسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ، لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيْحَهَا وَإِنَّ رِيْحَهَا لَيُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ كَذَا وَكَذَا
“Ada dua golongan dari penduduk neraka yang keduanya belum pernah aku lihat, pertama: satu kaum yang memiliki cemeti-cemeti seperti ekor sapi yang dengannya mereka memukul manusia. Kedua: para wanita yang berpakaian tapi telanjang, mereka menyimpangkan lagi menyelewengkan orang dari kebenaran. Kepala-kepala mereka seperti punuk unta yang miring/condong. Mereka ini tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium wangi surga, padahal wangi surga sudah tercium dari jarak perjalanan sejauh ini dan itu.” (HR. Muslim no. 5547)

7. Menaruh rasa cemburu kepadanya
Seorang suami harus memiliki rasa cemburu kepada istrinya yang dengan perasaan ini ia menjaga kehormatan istrinya. Ia tidak membiarkan istrinya bercampur baur dengan lelaki, ngobrol dan bercanda dengan sembarang laki-laki. Ia tidak membiarkan istrinya ke pasar sendirian atau hanya berduaan dengan sopir pribadinya.
Suami yang memiliki rasa cemburu kepada istrinya tentunya tidak akan memperhadapkan istrinya kepada perkara yang mengikis rasa malu dan dapat mengeluarkannya dari kemuliaan.
Sa’d bin ‘Ubadah radhiyallahu ‘anhu pernah berkata mengungkapkan kecemburuannya terhadap istrinya:
لَوْ رَأَيْتُ رَجُلاً مَعَ امْرَأَتِي لَضَرَبْتُهُ بِالسَّيْفِ غَيْرَ مُصْفِحٍ
“Seandainya aku melihat seorang laki-laki bersama istriku niscaya aku akan memukul laki-laki itu dengan pedang bukan pada bagian sisinya (yang tumpul)11.”
Mendengar ucapan Sa’d yang sedemikian itu, tidaklah membuat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencelanya. Bahkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
أَتَعْجَبُوْنَ مِنْ غِيْرَةِ سَعْدٍ؟ لَأَنَا أَغْيَرُ مِنْهُ، وَاللهُ أَغْيَرُ مِنِّي
“Apakah kalian merasa heran dengan cemburunya Sa’d? Sungguh aku lebih cemburu daripada Sa’d dan Allah lebih cemburu daripadaku.” (HR. Al-Bukhari dalam Kitab An-Nikah, Bab Al-Ghirah dan Muslim no. 3743)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullahu menyebutkan, dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Al-Hakim dikisahkan bahwa tatkala turun ayat:
وَالَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوْهُمْ ثَمَانِيْنَ جَلْدَةً وَلاَ تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُوْنَ
“Dan orang-orang yang menuduh wanita baik-baik berzina kemudian mereka tidak dapat menghadirkan empat saksi, maka hendaklah kalian mencambuk mereka sebanyak 80 cambukan dan jangan kalian terima persaksian mereka selama-lamanya.” (An-Nur: 4)
Berkatalah Sa’d bin ‘Ubadah radhiyallahu ‘anhu: “Apakah demikian ayat yang turun? Seandainya aku dapatkan seorang laki-laki berada di paha istriku, apakah aku tidak boleh mengusiknya sampai aku mendatangkan empat saksi? Demi Allah, aku tidak akan mendatangkan empat saksi sementara laki-laki itu telah puas menunaikan hajatnya.”
Mendengar ucapan Sa’d, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai sekalian orang-orang Anshar, tidakkah kalian mendengar apa yang diucapkan oleh pemimpin kalian?”
Orang-orang Anshar pun menjawab: “Wahai Rasulullah, janganlah engkau mencelanya karena dia seorang yang sangat pencemburu. Demi Allah, dia tidak ingin menikah dengan seorang wanita pun kecuali bila wanita itu masih gadis. Dan bila dia menceraikan seorang istrinya, tidak ada seorang laki-laki pun yang berani untuk menikahi bekas istrinya tersebut karena cemburunya yang sangat.”
Sa’d berkata: “Demi Allah, sungguh aku tahu wahai Rasulullah bahwa ayat ini benar dan datang dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, akan tetapi aku cuma heran.” (Fathul Bari, 9/348)
Islam telah memberikan aturan yang lurus berkenaan dengan penjagaan terhadap rasa cemburu ini dengan:
1. Memerintahkan kepada wanita untuk berhijab
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِيْنَ يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيْبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلاَ يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللهُ غَفُوْرًا رَحِيْمًا
“Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu dan putri-putrimu serta wanita-wanita kaum mukminin, hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka di atas tubuh mereka. Yang demikian itu lebih pantas bagi mereka untuk dikenali (sebagai wanita merdeka dan wanita baik-baik) hingga mereka tidak diganggu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Penyayang.” (Al-Ahzab: 59)
2. Memerintahkan wanita untuk menundukkan pandangan matanya dari memandang laki-laki yang bukan mahramnya:
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“Katakanlah kepada wanita-wanita mukminah: ‘Hendaklah mereka menundukkan sebagian pandangan mata mereka dan menjaga kemaluan mereka…’.” (An-Nur: 31)
3. Tidak membolehkan wanita menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami dan laki-laki dari kalangan mahramnya.
وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ لِبُعُوْلَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُوْلَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُوْلَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِيْنَ غَيْرِ أُولِي اْلإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِيْنَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ
“… janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali apa yang biasa tampak darinya (tidak mungkin ditutupi). Hendaklah pula mereka menutupkan kerudung mereka di atas leher-leher mereka dan jangan mereka tampakkan perhiasan mereka kecuali di hadapan suami-suami mereka, atau ayah-ayah mereka, atau ayah-ayah suami mereka (ayah mertua), atau di hadapan putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau di hadapan saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka (keponakan laki-laki), atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau di hadapan wanita-wanita mereka, atau budak yang mereka miliki, atau laki-laki yang tidak punya syahwat terhadap wanita, atau anak laki-laki yang masih kecil yang belum mengerti aurat wanita.” (An-Nur: 31)
4. Tidak membiarkannya bercampur baur dengan laki-laki yang bukan mahram.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالدُّخُوْلَ عَلَى النِّسَاءِ. قَالُوا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَرَأَيتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ: الْحَمْوُ الْمَوْتُ
“Hati-hati kalian dari masuk ke tempat para wanita.” Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu dengan ipar12?” Beliau menjawab, “Ipar itu maut13.” (HR. Al-Bukhari no. 5232 dan Muslim no. 5638)
5. Tidak memperhadapkannya kepada fitnah, seperti bepergian meninggalkannya dalam waktu yang lama atau menempatkannya di lingkungan yang rusak.
Seorang suami hendaklah memerhatikan perkara-perkara di atas agar ia dapat menjaga kehormatan istrinya sebagai bentuk kecemburuannya kepada si istri.
Demikianlah… Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

1 Maksudnya: mengucapkan kepada istri ucapan yang buruk, mencaci makinya, atau mengatakan padanya, “Semoga Allah menjelekkanmu”, atau yang semisalnya. (‘Aunul Ma’bud, Kitab An-Nikah, bab Fi Haqqil Mar`ah ‘ala Zaujiha)
2 Secara lengkap haditsnya dibawakan oleh Sahl bin Sa’d As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Seorang wanita datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah, aku datang untuk menghibahkan diriku kepadamu.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengangkat pandangannya kepada wanita tersebut untuk mengamatinya, kemudian beliau menundukkan kepalanya. Ketika si wanita melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memutuskan apa-apa dalam perkara dirinya, ia duduk.
Berdirilah seorang lelaki dari kalangan shahabat beliau lalu berkata, “Wahai Rasulullah, bila engkau tidak berminat kepadanya maka nikahkanlah aku dengannya.” Rasulullah balik bertanya, “Apa engkau memiliki sesuatu untuk dijadikan mahar?”
“Tidak ada, demi Allah, wahai Rasulullah,” jawab si lelaki. “Pergilah kepada keluargamu, lalu lihatlah mungkin engkau mendapatkan sesuatu,” titah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Laki-laki itu pun pergi. Tak berapa lama kemudian ia kembali seraya berkata, “Aku tidak mendapatkan apa-apa, demi Allah.” Rasulullah bersabda, “Lihatlah dan carilah walau hanya sebuah cincin dari besi.”
Laki-laki itu pergi lagi kemudian tak berapa lama ia kembali lalu berkata, “Tidak ada, demi Allah wahai Rasulullah, walaupun cincin dari besi. Tapi ini ada izarku (kain penutup tubuh, –pent.), setengahnya sebagai mahar untuknya –kata Sahl, “(Sementara) laki-laki itu tidak memiliki rida` (pakaian, sejenis mantel, jubah, atau gamis –pent.)”-. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apa yang dapat engkau perbuat dengan izarmu? Kalau engkau pakai berarti ia tidak mengenakan sedikitpun dari izar ini, sebaliknya kalau ia yang pakai berarti engkau tidak dapat menggunakannya sedikitpun.”
Si lelaki terduduk. Ketika telah lama duduknya, ia bangkit. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat ia pergi, maka beliau menyuruh orang untuk memanggilnya. Ketika si lelaki telah berada di hadapan beliau, beliau bertanya, “Apa yang engkau hapal dari Al-Qur`an?” “Aku hapal surah ini, surah itu –ia menyebut beberapa surah–,” jawabnya.
“Apakah engkau hapal surah-surah tersebut dari hatimu (di luar kepala, –pent.)?” tanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lagi. “Iya,” jawabnya. “Kalau begitu pergilah, aku telah nikahkan engkau dengan si wanita dengan mahar surah-surah Al-Qur`an yang engkau hapal.”
3 Maksudnya: menceraikan seorang istri dan menggantikan posisinya dengan istri yang baru (menikah lagi).
4 Kalian tidak boleh mengambil mahar yang telah kalian berikan kepadanya, walaupun pemberian kalian itu berupa harta yang sangat banyak. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/173)
5 Hindun tidaklah menyatakan bahwa Abu Sufyan bersifat pelit dalam seluruh keadaannya. Dia hanya sebatas menyebutkan keadaannya bersama suaminya di mana suaminya sangat menyempitkan nafkah untuknya dan untuk anaknya. Hal ini tidaklah berarti Abu Sufyan memiliki sifat pelit secara mutlak. Karena betapa banyak di antara para tokoh/ pemuka masyarakat melakukan hal tersebut kepada istrinya/keluarganya dan lebih mendahulukan/mementingkan orang lain (bersifat dermawan kepada orang lain). (Fathul Bari, 9/630)
6 Dalam riwayat Muslim, Hindun bertanya:
فَهَلْ عَلَيَّ فِي ذَلِكَ مِنْ جُنَاحٍ؟
“Apakah aku berdosa bila melakukan hal itu?”
7 Al-Qadhi berkata: “Al-Istisha’ adalah menerima wasiat. Maka, makna ucapan Nabi ini adalah ‘aku wasiatkan kalian untuk berbuat kebaikan terhadap para istri, maka terimalah wasiatku ini’.” (Tuhfatul Ahwadzi)
8 Maksudnya selain istimta’ (bercumbu dengannya), menjaga diri untuk suaminya, menjaga harta suami dan anaknya, serta menunaikan kebutuhan suami dan melayaninya. (Bahjatun Nazhirin, 1/361)
9 Seperti nusyuz, buruknya pergaulan dengan suami dan tidak menjaga kehormatan diri. (Tuhfatul Ahwadzi)
10 Misalnya ia punya dua istri. (‘Aunul Ma’bud, Kitab An-Nikah, bab Fil Qismi Bainan Nisa`)
11 Sa’d memaksudkan ia akan memukul laki-laki itu dengan bagian pedang yang tajam bukan dengan bagian yang tumpulnya. Orang yang memukul dengan bagian pedang yang tajam berarti bermaksud membunuh orang yang dipukulnya. Beda halnya kalau ia memukul dengan bagian yang tumpul, tujuannya berarti bukan untuk membunuh tapi untuk ta`dib (memberi pengajaran agar jera). (Fathul Bari, 9/298)
12 Atau kerabat suami lainnya. (Al-Minhaj, 14/378)
13 Ipar dikatakan maut, maknanya kekhawatiran terhadapnya lebih besar daripada kekhawatiran dari orang lain yang bukan kerabat. Kejelekan dan fitnah lebih mungkin terjadi dalam hubungan dengan ipar, karena ipar biasanya bebas keluar masuk menemui si wanita dan berduaan dengannya tanpa ada pengingkaran, karena dianggap keluarga sendiri/saudara. Beda halnya dengan ajnabi (lak-laki yang bukan kerabat).
Yang dimaksud dengan al-hamwu di sini adalah kerabat suami selain ayah dan anak laki-laki suami, karena dua yang disebutkan terakhir ini merupakan mahram bagi si wanita hingga mereka boleh berduaan dengan si wanita dan tidak disifati dengan maut.
Adapun yang disifati dengan maut adalah saudara laki-laki suami, keponakan laki-laki suami, paman suami, dan anak paman suami serta selain mereka yang bukan mahram si wanita (dari kalangan kerabat suami). Kebiasaan yang ada di kalangan orang-orang, mereka bermudah-mudahan dalam hal ini sehingga ipar dianggap biasa bila berduaan dengan istri saudaranya. Inilah maut, dan yang seperti ini lebih utama untuk disebutkan pelarangannya daripada pelarangan dengan ajnabi. (Al-Minhaj, 14/378)

Sumber: www.asysyariah.com

Read More......

Hak Suami dalam Islam

Penulis : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah

Betapa agungnya hakmu terhadapku. Andai ada manusia yang boleh ku bersujud kepadanya, engkaulah yang tertuju, sebuah pengandaian yang kuketahui dari Rasulku. Namun aduhai diri ini, alangkah sesalku… betapa kurangnya memenuhi hakmu. Hanyalah pengampunan Rabbku, kemudian pemaafanmu atas segala celaku…


Sebuah pernyataan yang memang semestinya terucap dari lisan seorang istri yang tahu ‘kadar’ seorang suami berikut haknya. Bagaimana tidak, sementara Rasul yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
لَوْ كُنْتُ آمُرُ أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةََ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا وَلاَ تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهَا كُلَّهُ حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا عَلَيْهَا كُلَّهَا حَتَّى لَوْ سَأَلَهَا نَفْسَهَا وَهِيَ عَلَىظَهْرِ قَتَبٍ لَأَعْطَتْهُ إِيَّاهُ
“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain1niscaya aku perintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya2. Dan tidaklah seorang istri dapat menunaikan seluruh hak Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadapnya hingga ia menunaikan seluruh hak suaminya. Sampai-sampai jika suaminya meminta dirinya (mengajaknya jima’) sementara ia sedang berada di atas pelana (yang dipasang di atas unta) maka ia harus memberikannya (tidak boleh menolak).”3 (HR. Ahmad 4/381. Dishahihkan sanadnya oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Irwa` Al-Ghalil no. 1998 dan Ash-Shahihah no. 3366)
Al-Hushain bin Mihshan rahimahullahu menceritakan bahwa bibinya pernah datang ke tempat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena satu keperluan. Seselesainya dari keperluan tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya:
أَذَاتُ زَوْجٍ أَنْتِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ: كَيْفَ أَنْتِ لَهُ؟ قَالَتْ: مَا آلُوْهُ إِلاَّ مَا عَجَزْتُ عَنْهُ. قَالَ: فَانْظُرِيْ أينَ أَنْتِ مِنْهُ، فَإنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ
“Apakah engkau sudah bersuami?” Bibi Al-Hushain menjawab: “Sudah.” “Bagaimana (sikap) engkau terhadap suamimu?” tanya Rasulullah lagi. Ia menjawab: “Aku tidak pernah mengurangi haknya kecuali dalam perkara yang aku tidak mampu.” Rasulullah bersabda: “Lihatlah di mana keberadaanmu dalam pergaulanmu dengan suamimu, karena suamimu adalah surga dan nerakamu.” (HR. Ahmad 4/341 dan selainnya, lihat Ash-Shahihah no. 2612)
Di antara sekian banyak hak suami, beberapa di antaranya dapat kita rinci berikut ini:
Pertama: Ditaati dalam selain perkara maksiat.
Suami memiliki hak terhadap istrinya untuk ditaati dalam seluruh perkara asalkan bukan perkara maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوْفِ
“Hanyalah ketaatan itu dalam perkara yang ma’ruf.” (HR. Al-Bukhari no. 7145 dan Muslim no. 4742)
Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memperingatkan:
لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (HR. Ahmad 1/131, dishahihkan sanadnya oleh Asy-Syaikh Ahmad Syakir rahimahullahu dalam syarah dan catatan kakinya terhadap Musnad Al-Imam Ahmad dan dishahihkan pula dalam Ash-Shahihah no. 181)
Sehingga bila suami memerintahkan istrinya untuk berbuat maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti disuruh keluar rumah dengan tabarruj, wajib bagi si istri untuk menolaknya. Bila ia menaati suaminya berarti ia berbuat dosa sebagaimana suaminya berdosa karena telah memerintahkannya bermaksiat.
Di antara dalil yang menunjukkan wajibnya istri menaati suaminya adalah adanya perintah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala agar suami memberikan ‘pengajaran’ kepada istrinya bila ia enggan untuk taat, dan sebaliknya Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang seorang suami untuk menyakiti istrinya bila si istri taat kepadanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَاللاَّتِي تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلاً
“Dan para istri yang kalian khawatirkan (kalian ketahui dan yakini) nusyuz4nya maka hendaklah kalian menasihati mereka, meninggalkan mereka di tempat tidur, dan memukul mereka. Kemudian jika mereka menaati kalian maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka.” (An-Nisa`: 34)
Ayat di atas menunjukkan, ‘pengajaran’5 diberikan kepada istri dikarenakan ia tidak taat kepada suaminya, yang berarti taat kepada suami itu wajib.
Termasuk taat yang wajib ditunaikan kepada suami adalah memenuhi panggilan suami ke tempat tidur serta tidak boleh menolak “hasrat”-nya.
Istri yang menolak “ajakan” suaminya diancam oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sabda beliau:
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتََهُ إِلَى فِِِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِيْءَ لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“Jika seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya lalu si istri menolak untuk datang maka para malaikat akan melaknatnya sampai pagi.” (HR. Al-Bukhari no. 5194 dan Muslim no. 3524)
Dalam riwayat Muslim (no. 3525) disebutkan dengan lafadz:
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهَا فَتَأْبَى عَلَيْهِ إِلاَّ كَانَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ سَاخِطًا عَلَيْهَا حَتَّى يَرْضَى عَنْهَا
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya lalu si istri menolak ajakan suaminya melainkan yang di langit (penduduk langit) murka pada istri tersebut sampai suaminya ridha kepadanya.”
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata, “Hadits ini merupakan dalil haramnya seorang istri menolak mendatangi tempat tidur suaminya tanpa ada udzur syar’i. Dan haid bukanlah udzur untuk menolak panggilan suami karena suami punya hak untuk istimta’ (bermesraan/bernikmat-nikmat) dengan si istri pada bagian atas izarnya6. Makna hadits di atas adalah laknat terus menerus diterima si istri hingga hilang maksiatnya dengan terbitnya fajar sehingga suami tidak membutuhkannya lagi, atau dengan taubatnya si istri dan kembalinya dia ke tempat tidur.” (Al-Minhaj, 9/249)
Dalam hadits ini pun ada bimbingan kepada istri untuk membantu memenuhi kebutuhan suaminya dan mencari keridhaannya. (Fathul Bari, 9/366)
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu menyatakan, wajib bagi istri untuk taat kepada suaminya sebatas kemampuannya dalam perkara yang diperintahkan suami, karena hal ini termasuk keutamaan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada kaum lelaki. Sebagaimana dalam ayat:
الرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلىَ النِّسَاءِ
“Kaum lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (An-Nisa`: 34)
Dan ayat:
وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ
“Dan kaum lelaki memiliki kedudukan satu derajat di atas kaum wanita.”
Hadits-hadits shahih yang ada memperkuat makna ini dan menjelaskan dengan terang apa yang akan diperoleh wanita dari kebaikan ataupun kejelekan, bila ia menaati suaminya atau mendurhakainya. (Adabuz Zifaf, hal. 175-176)

Kedua: Istri tidak boleh keluar rumah kecuali dengan izin suami.
Seorang istri tidak boleh keluar dari rumahnya kecuali dengan izin suaminya.Baik si istri keluar untuk mengunjungi kedua orangtuanya ataupun untuk kebutuhan yang lain, sampaipun untuk keperluan shalat di masjid.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu mengatakan, “Tidak halal bagi seorang istri keluar dari rumah suaminya kecuali dengan izin suaminya.” Beliau juga berkata, “Bila si istri keluar rumah suami tanpa izinnya berarti ia telah berbuat nusyuz, bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, serta pantas mendapatkan hukuman.” (Majmu’ Al-Fatawa, 32/281)

Ketiga: Istri tidak boleh puasa sunnah kecuali dengan izin suaminya.
Bila seorang istri hendak mengerjakan puasa Ramadhan, ia tidak perlu meminta izin kepada suaminya karena puasa Ramadhan hukumnya wajib, haram ditinggalkan tanpa udzur syar’i. Bila sampai suaminya melarang, ia tidak boleh menaatinya. Karena tidak boleh menaati makhluk dalam bermaksiat kepada Al-Khaliq.
Namun bila si istri hendak puasa sunnah/tathawwu’, ia harus meminta izin kepada suaminya. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُوْمَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tidak boleh seorang istri puasa (sunnah) sementara suaminya ada di tempat kecuali dengan izin suaminya.” (HR. Al-Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata: “Larangan ini menunjukkan keharaman. Demikian yang diterangkan dengan jelas oleh kalangan ulama dari madzhab kami.” (Al-Minhaj, 7/116)
Hal ini merupakan pendapat jumhur ulama sebagaimana disebutkan dalam Fathul Bari (9/367).
Adapun sebab/alasan pelarangan tersebut, wallahu a’lam, karena suami memiliki hak untuk istimta’ dengan si istri sepanjang hari. Haknya ini wajib untuk segera ditunaikan dan tidak boleh luput penunaiannya karena si istri sedang melakukan ibadah sunnah ataupun ibadah yang wajib namun dapat ditunda. (Al-Minhaj, 7/116)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu mengatakan: “Hadits ini menunjukkan lebih ditekankan kepada istri untuk memenuhi hak suami daripada mengerjakan kebajikan yang hukumnya sunnah. Karena hak suami itu wajib, sementara menunaikan kewajiban lebih didahulukan daripada menunaikan perkara yang sunnah.” (Fathul Bari, 9/357)

Keempat: Istri tidak boleh mengizinkan seseorang masuk ke rumah suami kecuali dengan izinnya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang hal ini dalam sabdanya:
وَلاَ تَأْذَنْ فِي بَيْتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tidak boleh seorang istri mengizinkan seseorang masuk ke rumah suaminya terkecuali dengan izin suaminya.” (HR. Al-Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 2367)
‘Amr ibnul Ahwash radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sabda beliau:
أَلاَ إِنَّ لَكُمْ عَلَى نِسَائكُِمْ حَقًّا، وَلِنِسَائِكُمْ عَلَيْكُمْ حَقًّا، فَحَقُّكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوْطِئْنَ فُرُشَكُمْ مَنْ تَكْرَهُوْنَ، وَلاَ يَأْذَنَّ فِي بُيُوْتِكُمْ لِمَنْ تَكْرَهُوْنَ، أَلاَ وَحَقُّهُنَّ عَلَيْكُمْ أَنْ تُحْسِنُوْا إِلَيْهِنَّ فيِ كِسْوَتِهِنَّ وَطَعَامِهِنَّ
“Ketahuilah, kalian memiliki hak terhadap istri-istri kalian dan mereka pun memiliki hak terhadap kalian. Hak kalian terhadap mereka adalah mereka tidak boleh membiarkan seorang yang tidak kalian sukai untuk menginjak permadani kalian dan mereka tidak boleh mengizinkan orang yang kalian benci untuk memasuki rumah kalian. Sedangkan hak mereka terhadap kalian adalah kalian berbuat baik terhadap mereka dalam hal pakaian dan makanan mereka.” (HR. At-Tirmidzi no. 1163 dan Ibnu Majah no. 1851, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih At-Tirmidzi dan Shahih Ibni Majah)

Kelima: Mendapatkan pelayanan (khidmat) dari istrinya.
Semestinya seorang istri membantu suaminya dalam kehidupannya. Hal ini telah dicontohkan oleh istri-istri shalihah dari kalangan shahabiyah seperti yang dilakukan Asma` bintu Abi Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhuma yang berkhidmat kepada suaminya, Az-Zubair ibnul ‘Awwam radhiyallahu ‘anhu. Ia mengurusi hewan tunggangan suaminya, memberi makan dan minum kudanya, menjahit dan menambal embernya, serta mengadon tepung untuk membuat kue. Ia yang memikul biji-bijian dari tanah milik suaminya sementara jarak tempat tinggalnya dengan tanah tersebut sekitar 2/3 farsakh7.” (HR. Al-Bukhari no. 5224 dan Muslim no. 2182)
Demikian pula khidmat Fathimah bintu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumah suaminya, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Sampai-sampai kedua tangannya lecet karena menggiling gandum. (HR. Al-Bukhari no. 6318 dan Muslim no. 2727)
Shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Jabir bin Abdillah radhiyallahu 'anhu, menikahi seorang janda agar bisa berkhidmat padanya dengan mengurusi 7 atau 9 saudara perempuannya yang masih belia. Kata Jabir kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ayahku, Abdullah, telah wafat dan ia meninggalkan banyak anak perempuan. Aku tidak suka mendatangkan di tengah-tengah mereka wanita yang sama dengan mereka. Maka aku pun menikahi seorang wanita yang bisa mengurusi dan merawat mereka.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan Jabir:
فَباَرَكَ اللهُ لَكَ – أَوْ: خَيْرًا -
“Semoga Allah memberkahimu.” Atau beliau berkata, “Semoga kebaikan untukmu.” (HR. Al-Bukhari no. 5367 dan Muslim no. 3623)

Keenam: Disyukuri kebaikan yang diberikannya.
Seorang istri harus pandai-pandai berterima kasih kepada suaminya atas semua yang telah diberikan suaminya kepadanya. Bila tidak, si istri akan berhadapan dengan ancaman neraka Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Seselesainya dari Shalat Kusuf (Shalat Gerhana), Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda menceritakan surga dan neraka yang diperlihatkan kepada beliau ketika shalat:
وَرَأَيْتُ النَّارَ فَلَمْ أَرَ كَالْيَوْمِ مَنْظَرًا قَطُّ وَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا النِّسَاءَ. قَالُوا: لِمَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: بِكُفْرِهِنَّ. قِيْلَ: يَكْفُرْنَ بِاللهِ؟ قَالَ: يَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ وَيَكْفُرْنَ اْلإِحْسَانَ، لَوْ أَََحْسَنْتَ إِلىَ إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ، ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ
“Dan aku melihat neraka. Aku belum pernah sama sekali melihat pemandangan seperti hari ini. Dan aku lihat ternyata mayoritas penghuninya adalah para wanita.” Mereka bertanya, “Kenapa para wanita menjadi mayoritas penghuni neraka, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Disebabkan kekufuran mereka8.” Ada yang bertanya kepada beliau: “Apakah para wanita itu kufur kepada Allah?” Beliau menjawab: “(Tidak, melainkan) mereka kufur kepada suami dan mengkufuri kebaikan (suami). Seandainya engkau berbuat baik kepada salah seorang dari mereka pada suatu masa, kemudian suatu saat ia melihat darimu ada sesuatu (yang tidak berkenan di hatinya) niscaya ia akan berkata: ‘Aku sama sekali belum pernah melihat kebaikan darimu’.” (HR. Al-Bukhari no. 5197 dan Muslim no. 2106)
Al-Qadhi Ibnul ‘Arabi rahimahullahu berkata: “Dalam hadits ini disebutkan secara khusus dosa kufur/ingkar terhadap suami di antara sekian dosa lainnya. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyatakan: ‘Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain (sesama makluk) niscaya aku perintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya.’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengandaikan hak suami terhadap istri dengan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala9, maka bila seorang istri mengkufuri/mengingkari hak suaminya, sementara hak suami terhadapnya telah mencapai puncak yang sedemikian besar, hal itu sebagai bukti istri tersebut meremehkan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena itulah diberikan istilah kufur atas perbuatannya. Akan tetapi kufurnya tidak sampai mengeluarkan dari agama.” (Fathul Bari, 1/106)
Dalam kitab Ash-Shahihain disebutkan bahwa pada hari Idul Adha atau Idul Fithri, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju lapangan untuk melaksanakan shalat. Setelahnya beliau berkhutbah dan ketika melewati para wanita beliau bersabda: “Wahai sekalian wanita, bersedekahlah kalian dan perbanyaklah istighfar (meminta ampun) karena sungguh diperlihatkan kepadaku mayoritas kalian adalah penghuni neraka.” Salah seorang wanita yang hadir di tempat tersebut bertanya: “Apa sebabnya kami menjadi mayoritas penghuni neraka, ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Kalian banyak melaknat dan mengkufuri kebaikan suami. Aku belum pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya namun dapat menundukkan lelaki yang memiliki akal yang sempurna daripada kalian.”
Demikianlah, wahai para istri yang shalihah, beberapa hak suami yang dapat kami sebutkan. Tunaikanlah dengan sebaik-baiknya. Dan mohonlah pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menunaikannya.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

1 Sujud kepada sesama makhluk.
2 Namun tidak dibolehkan bersujud kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.
3 Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda demikian berkaitan dengan penuturan Abdullah ibnu Abi Aufa berikut ini: “Ketika Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu datang ke negeri Yaman atau Syam, ia melihat orang-orang Nasrani bersujud kepada para panglima dan petinggi gereja mereka. Maka ia memandang dan memastikan dalam hatinya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah yang paling berhak untuk diagungkan seperti itu. Sekembalinya ke hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata: ‘Ya Rasulullah, aku melihat orang-orang Nasrani bersujud kepada para panglima dan petinggi gereja mereka. Maka aku memandang dan memastikan dalam hatiku bahwa engkaulah yang paling berhak untuk diagungkan seperti itu’.”
4 Nusyuz ini bisa berupa ucapan atau perbuatan, ataupun kedua-duanya. Ibnu Taimiyyah rahimahullahu mengatakan: “Nusyuz istri adalah ia tidak menaati suaminya apabila suaminya mengajaknya ke tempat tidur, atau keluar rumah tanpa minta izin kepada suami, dan perkara semisalnya yang seharusnya ia tunaikan sebagai wujud ketaatan kepada suaminya.” (Majmu’ Fatawa, 32/277)
Termasuk nusyuz istri adalah enggan berhias sementara suaminya menginginkannya. Juga meninggalkan kewajiban-kewajiban agama seperti meninggalkan shalat, puasa, haji, dan sebagainya. (An-Nusyuz, Asy-Syaikh Shalih bin Ghanim As-Sadlan)
5 Dalam wujud diboikot di tempat tidur atau dipukul (yang tidak meninggalkan cacat).
6 Izar bisa kita maknakan dengan kain yang menutupi bagian kemaluan si istri karena hanya bagian ini saja yang diharamkan ketika si istri sedang haid. Dalilnya sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para suami:
اصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ
“Berbuatlah segala sesuatu (dengan istri kalian) kecuali nikah (maksudkan jangan melakukan jima`).” (HR. Abu Dawud no. 2165, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud)
7 1 farsakh kurang lebih 8 km atau 3,5 mil.
8 Yang dimaksud dengan kufur di sini adalah kufur ashghar (kufur kecil) yaitu kufur yang tidak mengeluarkan pelakunya dari keimanan. Pelakunya tetap seorang muslim. Namun karena dosa yang diperbuat, pantas mendapatkan siksa di dalam neraka walaupun tidak kekal di dalamnya sebagaimana pelaku kufur akbar (kufur besar). Kufur ini yang diistilahkan kufrun duna kufrin.
Al-Qadhi Abu Bakr ibnul ‘Arabi rahimahullahu berkata dalam syarahnya sebagaimana dinukil oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu: “Maksud penulis (Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu) membawakan hadits ini (seperti dalam kitab Al-Iman bab Kufranil ‘Asyir wa Kufrin duna Kufrin) adalah untuk menerangkan bahwa sebagaimana ketaatan diistilahkan dengan iman, maka demikian pula perbuatan maksiat diistilahkan dengan kufur. Akan tetapi kufur yang disebutkan dalam hadits ini bukan kufur yang mengeluarkan pelakunya dari agama Islam.” (Fathul Bari, 1/106)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menyatakan bolehnya memberikan istilah kufur kepada orang yang mengkufuri/mengingkari hak-hak orang lain terhadapnya sebagai satu celaan bagi si pelaku, walaupun ia tidak kafir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Syarh Shahih Muslim, 6/213)
9 Maksudnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengandaikan bila boleh bersujud kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala niscaya istri akan diperintah sujud kepada suaminya. Namun mendapatkan sujud dari para hamba hanyalah merupakan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak ada satu pun makhluk-Nya yang berserikat dengan-Nya dalam hak ini.

Sumber: www.asysyariah.com

Read More......